"Apabila Engkau sedikit berdzikir (mengingat Allah SWT di dunia) niscaya sedikit pula kesempatanmu memandang-Nya dan kedekatanmu pada-Nya di akhirat." (Al Habib Umar bin Hafidz)


Rabu, 10 Februari 2010

BID’AH, TA’RIF DAN PEMBAHASANNYA


Friday, 01 June 2007
BID’AH
Oleh: Habib Munzir bin Fuad Almusawa
Saya ambil dari ebook beliau “kenalilah Akidahmu”, jika anda ingin mendapatkan ebook ini, bisa di download gratis di situs www.majelisrasulullah.org

I. Nabi Saw Memperbolehkan Berbuat Bid’ah Hasanah.
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw: “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hbban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid'ah dhalalah.


Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yg membuat kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yg tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal-hal yg baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yg tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah makna ayat : “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM..dst, “hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”, maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yg baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya islam.

Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yg bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa-apa yg sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau saw : “Barangsiapa yg membuat buat hal baru yg berupa keburukan...dst”, inilah yg disebut Bid’ah Dhalalah. Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yg baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yg ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yg buruk (Bid’ah dhalalah).

Mengenai pendapat yg mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yg dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas-jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.

II. Siapakah Yg Pertama Memulai Bid’ah Hasanah Setelah Wafatnya Rasul Saw?
Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yg mereka itu para Huffadh (yg hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yg tidak diperbuat oleh Rasulullah..??, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!” berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).

Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yg baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, ada yg tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yg memulainya.

Kita perhatikan hadits yg dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh beliau saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yg membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan-akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka rasul saw bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara kalian yg berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yg mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati-hatilah dengan hal-hal yg baru, sungguh semua yg Bid'ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).

Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw telah memperbolehkan hal yg baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yg baru, yg tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.

Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik-baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906) lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu. Demikian pula hal yg dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873).

Siapakah yg salah dan tertuduh?, siapakah yg lebih mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?

III. Bid’ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yg menolak bid’ah hasanah inilah yg termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas-jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yg merupakan Bid’ah dhalalah, hal yg telah diperingatkan oleh Rasul saw.

Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.

Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah. Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah. Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya.

Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ? Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yg telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yg berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal-hal baru yg berupa keburukan (Bid’ah dhalalah).

Saudara-saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.

Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah ra :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah saw??, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun(Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”.

Maka kuhimbau saudara-saudaraku muslimin yg kumuliakan, hati yg jernih menerima hal-hal baru yg baik adalah hati yg sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yg dijernihkan Allah swt, Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yg maksudnya berpeganglah erat-erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.

Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin.

IV. Pendapat Para Imam Dan Muhadditsin Mengenai Bid’ah

1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yg sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)

2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi : “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg dimaksud adalah hal-hal yg tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yg baik dan bid’ah yg sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat-buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yg baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yg buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yg baru adalah Bid’ah, dan semua yg Bid’ah adalah sesat”, sungguh yg dimaksudkan adalah hal baru yg buruk dan Bid’ah yg tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yg wajib, Bid’ah yg mandub, bid’ah yg mubah, bid’ah yg makruh dan bid’ah yg haram. Bid’ah yg wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan ucapan yg menentang kemungkaran, contoh bid’ah yg mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yg Mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yg umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

4. Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yg Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).

Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yg bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati-hati darimanakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yg disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yg tak punya sanad, hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam?
Walillahittaufiq

Telah beredar buku saya mengenai Bid’ah, tawassul, istighatsah, maulid, ziarah kubur, tabarruk dll, buku itu saya beri judul “Kenalilah Akidahmu”. Dapat dipesan di sekertariat kami.


********************
********************

BID’AH, TA’RIF DAN PEMBAHASANNYA
Disajikan oleh: H.M. Dawud Arif Khan, S.E., M.Si., Ak., CPA

A. Pengertian Bid’ah

Menurut Bahasa Arab, kata Bid’ah berarti “sesuatu yang diadakan tanpa contoh yang terdahulu”.
Sedangkan definisi (ta’rif) bid’ah tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Para Ulama’lah yang menyusun definisi/ta’rif tersebut setelah memperhatikan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Syeikh Izzuddin bin Abdis Salam berkata:
“Bid’ah itu adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW.”[1]

Menurut riwayat Abu Nu’im, Imam Syafi’i pernah berkata: “Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji ialah yang sesuai dengan sunnah Nabi, dan bid’ah tercela ialah yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabi.”[2]

Imam Baihaqi ahli hadits yang terkenal menerangkan dalam kitab ‘Manaqib Syafi’i’ bahwa Imam Syafi’i pernah berkata:
“Pekerjaan yang baru itu dua macam: Pekerjaan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Qur’an, Sunnah Nabi, Atsar dan Ijma’, ini dinamakan bid’ah dhalalah, dan Pekerjaan keagamaan yang baik, yang tidak menentang salah satu dari yang tersebut di atas, adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela<.”

Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua golongan, yaitu bid’ah dhalalah dan bid’ah yang tidak tercela ( hasanah).

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah hasanah (sunnah yang baik) maka diamalkan orang kemudian sunnahnya itu, diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak mengurangkan sedikit juga dari pahala orang yang mengerjakan kemudian itu.
Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah sayyiah (sunnah yang buruk), maka diamalkan orang kemudian sunnah buruknya itu, diberikan kepadanya dosa seperti orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang mengerjakan kemudian itu.” (H.R. Imam Muslim).

Istilah bid’ah yang baik diambil dari ucapan Umar bin Khattab Ra.
Dari Abdurrahman bin Abdul Qarai, beliau berkata: “Saya keluar bersama Umar Bin khatab (Khalifah Rasyidin) pada suatu malam bulan Ramadhan ke Mesjid Madinah. Di dalam mesjid itu orang-orang shalat tarawih bercerai-berai. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada yang shalat dengan beberapa orang di belakangnya. Maka Umar RA berkata : ”Saya berpendapat akan mempersatukan orang-orang ini. Kalau disatukan dengan seorang imam sesungguhnya lebih baik, serupa dengan shalat Rasulullah”. Maka beliau satukan orang-orang itu shalat di belakang seorang Imam, namanya Ubai bin Ka’ab.
Kemudian pada suatu malam kami datang lagi ke mesjid, lalu kami melihat orang shalat berjama’ah di belakang seorang Imam. Umar RA. berkata : ”ini adalah bid’ah yang baik”. (Shahih Bukhari Juz I hal. 242)

Umar bin Khattab memberi istilah bid’ah pada pekerjaan yang diperintahkannya, yaitu Shalat Tarawih berjamaah. Hanya saja, itu adalah bid’ah yang baik. Sementara orang boleh menyatakan bahwa perbuatan Tarawih berjamaah itu bukan bid’ah, tapi yang sudah pasti adalah bahwa Umar bin Khatttab itu lebih pandai dalam hal agama daripada kita. Ia memberi ta’rif perbuatannya sebagai bid’ah, hanya saja bid’ah yang baik.

Imam Suyuthi berkata:
“Maksud yang asal dari perkataan bid’ah ialah sesuatu yang baru diadakan tanpa contoh terlebih dahulu. Dalam istilah syari’at, bid’ah adalah lawan dari sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian hukum bid’ah terbagi kepada hukum yang lima.”[3]

Imam Ibnu Hajar Al-Atsqolani, Ulama yang menyusun Kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, mengatakan: “Dan sebagian Ulama membagi bid’ah itu kepada hukum yang lima. Ini jelas.”[4]

(Bersambung ke bag.2)
________________________________________
[1] Izzuddin bin Abdussalaam, Qowaaid al-Ahkam
[2] Ahmad Ibnu Hajar Al-Atsqolani, Fathul Bari, juz XVII – hal. 10.

[3] Imam Suyuthi, Tanwirul Halik, juz I – hal.137

[4] Ahmad Ibnu Hajar Al-Atsqolani, Op.Cit

Untuk memperjelas persoalan bahwa tidak semua bid’ah dapat dikatakan sesat, kita ikuti uraian berikut ini:

B. Sunnah dan Ijma’ Shahabat

Nabi Muhammad SAW telah bersabda:“Ikutlah dua orang sesudahku, Abu Bakar dan Umar.” (HR Imam Tirmidzi)

Nabi Muhammad SAW juga bersabda:“.....Maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah Khalifah ar-Rasyidin yang diberi hidayah. Pegang teguhlah dan gigitlah dengan gerahammu ......” (HR Abu Dawud)

Ternyata kita diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk mengikuti sunnah para shahabat, yaitu sunnah yang dibuat dan disepakati oleh para shahabat Nabi SAW. Sunnah dan ijma’ shahabat Nabi SAW tak dapat dikatakan sebagai bid’ah dhalalah, meski beberapa di antaranya tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Karena bila apa yang diajarkan oleh Abu Bakar, Umar, para Khalifah Rasyidin disebut bid’ah, maka hal itu akan bertentangan dengan kedua hadits Nabi SAW di atas. Bila ijma’ (kesepakatan) shahabat Nabi dianggap sebagai bid’ah dhalalah, maka seluruh shahabat yang sepakat itu adalah ahli bid’ah, dan dengan demikian seluruh hadits yang melalui mereka akan tertolak. Ini tidak logis dan akan merusak seluruh bangunan ajaran islam yang ada.

Sudah sangat terkenal dalam dunia Islam, kisah dibukukannya Al-Qur’an oleh Abu Bakar atas usul Umar bin Khattab, dan bagaimana Al-Qur’an kemudian dicetak dengan standar khusus pada masa Utsman bin Affan.

Bahwasannya Zaid bin Tsabit berkata:
“Abu Bakar Ash-Shiddiq memanggil saya sesudah terjadi perang Yamamah, di mana banyak shahabat Nabi mati syahid. Di hadapan beliau ada Umar bin Khattab.
Abu Bakar berkata: ‘Zaid, Umar mengatakan kepadaku bahwa banyak ahli (penghafal) Al-Qur’an yang gugur di Perang Yamamah. ......... Umar mendesakku agar mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Aku berkata kepada Umar: “Bagaimana aku akan melakukan sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW?”. Umar berkata: “Demi Allah, ini baik.” Umar terus mendesakku sehingga aku kemudian sependapat dengannya.’

Zaid melanjutkan: “Abu Bakar berkata kepadaku: ‘Engkau adalah pemuda yang pintar......... Engkau adalah penulis wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasulullah. Kumpulkanlah wahyu-wahyu itu!’
(Aku menjawab:) ‘Demi Allah, kalau engkau minta aku memindahkan sebuah bukit, tidaklah seberat mengumpulkan Al-Qur’an ini. Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW?’
Abu Bakar terus mendesakku: “Demi Allah, ini baik.” Beliau terus mendesakku sehingga Allah SWT membuka hatiku sebagaimana hati Abu Bakar dan Umar. Maka aku pun mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah tamar (kurma), batu-batu putih (di mana mulanya Al-Qur’an ditulis), dan dari dada para shahabat Nabi SAW.” (HR Imam Bukhari)

Ternyata bahwa baik Abu Bakar maupun Zaid bin Tsabit berpendapat bahwa membukukan Al-Qur’an adalah bid’ah yang terlarang, karena Rasulullah SAW tidak pernah mengerjakannya atau pun memerintahkannya. Namun Allah SWT melalui Umar bin Khattab membuka hati keduanya bahwa meskipun itu bid’ah, namun termasuk kategori bid’ah yang baik, bahkan wajib dilakukan. Sebab, tanpa upaya tersebut bisa jadi generasi Islam berikutnya akan kehilangan pegangan dan berselisih tentang Kitab Suci Al-Qur’an. Bila ada sementara orang yang berpendapat bahwa perbuatan membukukan Al-Qur’an itu bukan bid’ah, maka sebaiknya mereka belajar ta’rif bid’ah tersebut kepada Abu Bakar, Umar, dan Zaid. Bila semua bid’ah dianggap dhalalah (sesat), maka hal itu adalah mustahil, karena tidak mungkin Abu Bakar, Umar, dan Zaid adalah orang-orang yang sesat. Tanpa mereka, barangkali kita tidak mengenal Al-Qur’an. Selain itu, mereka pun telah dijamin oleh Rasulullah SAW sebagai ahli surga. Ini adalah dalil yang paling kuat dan nyata bahwa bid’ah hasanah itu ada.

Dari Abu Musa Al-Asy`ari Ra., ia berkata: ”Tatkala Rasulullah SAW berada dalam salah satu kebun Madinah sedang bersandar dengan menancapkan sebatang kayu antara air dan tanah tiba-tiba datang seseorang yang ingin menemui Rasulullah saw. Beliau bersabda kepada pelayan: Bukakanlah pintu dan sampaikan kepadanya kabar gembira dengan memasuki surga. Orang tersebut ternyata adalah Abu Bakar. Aku pun membukakannya dan menyampaikan kabar gembira tentang surga. Tak lama kemudian datang lagi seseorang minta dibukakan. Rasulullah saw. bersabda: Bukakanlah pintu dan sampaikan kabar gembira kepadanya mengenai surga. Aku beranjak dan ternyata orang tersebut adalah Umar. .................” (HR Imam Muslim)

Dari Saib bin Yazid beliau berkata: ”Adalah adzan pada waktu Jum’at permulaannya apabila duduk Imam di atas mimbar pada zaman Nabi, pada masa Abu Bakar dan Umar RA. Pada zaman Utsman RA. di mana orang sudah bertambah banyak, beliau (Utsman RA) menambah adzan yang ketiga di atas zaura.” (H.R. Imam Bukhari)

Penambahan adzan Jum’at yang diperintahkan oleh Khalifah Utsman bin Affan jelas dan nyata adalah bid’ah. Namun, hal ini tak bisa disebut bid’ah dhalalah, karena amalan tersebut ternyata diikuti oleh para shahabat Nabi yang lain tanpa ada satu pun yang tercatat mengajukan keberatan. Kesepakatan (ijma’) shahabat adalah hujjah hukum yang kuat, karena merekalah orang-orang yang paling tahu bagaimana mengambil hukum dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Sunnah dari para Khulafa’ur Rasyidin telah dilembagakan oleh Rasulullah SAW, dan ijma’ shahabat jelas menunjukkan bagaimana golongan salaf menyikapi hukum berdasarkan pemahaman mereka atas prinsip dasar dan konsep ajaran Rasulullah SAW.

Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
“Sesungguhnya siapa yang hidup sesudahku di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan (paham) yang banyak. Maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah Khalifah ar-Rasyidin yang diberi hidayah. Pegang teguhlah dan gigitlah dengan gerahammu ......” (HR Abu Dawud)

Rasulullah SAW juga bersabda:
“Ummatku tidak akan bersepakat di atas kesalahan.” (HR Imam Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Al-Qur’an memberi petunjuk menyangkut hal ini di Surah An-Nisaa’ ayat 115:
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[1]dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”


Al-Qur’an juga memberi petunjuk bahwa kita dianjurkan untuk mengikuti apa yang dipegang teguh oleh para shahabat. Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 100:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”

C. Pengertian 'Semua Bid’ah Sesat'

Sabda Rasulullah SAW “.....Jauhilah perkara baru yang diada-adakan, karena semua yang baru diada-adakan itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR Abu Dawud)

Memahami Al Quran atau Hadits itu tak cukup hanya dengan menerjemahkan, perlu disiplin ilmu lain yg berhubungan, seperti ilmu nahwu, shorof, dan lain sebagainya. Pernyataan Rasulullah tersebut adalah pernyataan yang bersifat umum dan mempunyai takhsish (pengkhususan/ pengecualian). Banyak pernyataan umum dalam Al-Qur’an dan Hadits yang mempunyai takhsish. Berikut ini beberapa contohnya:

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-A’raf ayat 32:
“Katakanlah (hai Muhammad): Siapakah yang berani mengharamkan hiasan Tuhan yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-Nya dan rezeki yang baik?”

Ayat ini ditakhsish antara lain oleh hadits berikut ini:
“Bahwasannya Nabi melihat sebuah cincin mas pada jari seorang laki-laki, maka beliau buka cincin itu dan beliau buang, lalu berkata: ‘Mengambil seseorang darimu sepotong api dan ia letakkan ditangannya’.” ( H.R. Imam Muslim, Syarah Muslim juz 14 hal 65).
Maka, seluruh perhiasan itu halal, kecuali (antara lain) perhiasan emas bagi laki-laki. Ini adalah bentuk umum dari Al-Qur’an yang ditakhsish oleh Hadits.

Contoh lain, Allah berfirman dalam surah Al-Maaidah ayat 3:
“Diharamkan atasmu (memakan) bangkai ......”

Ayat ini ditakhsiskan dengan Hadits:
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulallah, kami memakai kendaraan laut sedang kami membawa air sedikit. Kalau kami pakai untuk berwudhu’ maka kami akan kekurangan air minum. Apakah boleh kami memakai air laut untuk berwudhu?”
Nabi SAW menjawab: “Air laut itu dapat dipakai untuk bersuci dan bangkainya halal untuk dimakan.” (H.R Imam Tirmidzi)

Contoh lain lagi, Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 228:
“Wanita yang diceraikan suaminya ber-iddah tiga Quru (tiga kali suci)....”

Ayat ini ditakhsiskan dengan ayat yang lain, yaitu:
“Dan wanita-wanita yang hamil, maka iddahnya sampai ia melahirkan anak.” (At-Thalaq: 4)

Dengan demikian, pengertian makna umum hadits “semua bid’ah sesat” harus melihat pula sekalian hadits yang bertailan dengan ungkapan Rasulullah mengenai sunnah shahabat, mengenai ijtihad, mengenai ‘sunnah hasanah’ (inovasi yang baik), dan hal-hal yang bersifat memaksa (dharurat) dalam agama. Jika hanya memegang teguh satu hadits ini saja dan mengabaikan sekalian hadits yang bertalian dengan masalah ini, maka keputusan hukum kita akan menjadi radikal dan justru menyimpang dari ajaran suci yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu, penentuan apakah suatu amalan termasuk dalam kategori bid’ah yang sesat haruslah ditetapkan melalui kehati-hatian dan tidak asal menyatakan bahwa sesuatu itu bid’ah atau sesat.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah hasanah (sunnah yang baik) maka diamalkan orang kemudian sunnahnya itu, diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak mengurangkan sedikit juga dari pahala orang yang mengerjakan kemudian itu.
Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah sayyiah (sunnah yang buruk), maka diamalkan orang kemudian sunnah buruknya itu, diberikan kepadanya dosa seperti orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang mengerjakan kemudian itu.” (H.R. Imam Muslim).

Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
“Sesungguhnya siapa yang hidup sesudahku di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan (paham) yang banyak. Maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah Khalifah ar-Rasyidin yang diberi hidayah. Pegang teguhlah dan gigitlah dengan gerahammu ......” (HR Abu Dawud)

Dari Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah SAW. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada Mu’adz: ”Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa kehadapanmu?”
“Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah”, kata Mu’adz.
Nabi bertanya lagi, ” Kalau engkau tidak menemukannya dalam Kitabullah, bagaimana?”
Jawab Mu’adz,”Saya akan memutuskannya menurut sunnah Rasul”.
Nabi bertanya lagi,” Kalau engkau tak menemui itu dalam sunnah Rasul, bagaimana?”
Mu’adz menjawab,” Ketika itu saya akan ber-ijtihad, tanpa bimbang sedikitpun”.
Mendengar jawaban itu Nabi Muhammmad SAW meletakkan tangannya ke dadanya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah sehingga menyenangkan hati Rasul-Nya”. (Hadits Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud)

Rasulullah SAW juga telah bersabda:
“Ketika hakim berijtihad, kemudian ia benar dalam ijtihadnya, maka baginya dua pahala. Apabila ia salah, maka ia dapat satu pahala.” (HR Imam Muslim)

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Ma’idah ayat 3:
“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan, tanpa sengaja berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

D. Ancaman Kepada Ahli Bid’ah Dholalah

Banyak hadits yang memberikan ancaman yang nyata kepada para ahli bid’ah dholalah, di antaranya:
“Allah enggan menerima ibadah ahli bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya itu.” (HR Ibnu Majah)

Dari A’isyah Rda., bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini (urusan agama/ibadah) sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan orang itu ditolak.” (HR Imam Muslim)

Imam Nawawi, Ulama yang menyusun Kitab Syarah Shahih Muslim mengatakan bahwa pengertian ditolak itu adalah batal atau batil, tidak masuk hitungan. Ini hadits yang jelas, yaitu menolak segenap ibadah yang diada-adakan, ibadah yang bid’ah.
Perlu diketahui bahwa Imam Nawawi ini juga penyusun Kitab Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab yang sangat terkenal, Kitab Riyaadhus Shalihin, Al-Adzkaar, dan lain-lain. Beliau sangat anti bid’ah, sehingga sangat aneh tuduhan sementara orang bahwa beliau mengajarkan bid’ah. Suatu hal yang sangat tidak logis dan tidak ilmiah.

Dan yang paling terkenal adalah sabda Rasulullah SAW: “.....Jauhilah perkara baru yang diada-adakan, karena semua yang baru diada-adakan itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR Abu Dawud)

Rasulullah SAW juga bersabda: “Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang sudah dimatikan orang setelah aku tidak ada, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya. Tidak sedikitpun dikurangi seperti orang yang mengamalkan sunnah. Dan barangsiapa yang membuat suatu bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi Allah dan Rasul-Nya, maka ia mendapat pula dosa-dosa yang mengamalkan bid’ah tanpa dikurangi sedikit pun.” (H.R. Imam Tirmidzi)

Menurut Hadits ini, siapa yang mengadakan bid’ah dholalah, maka ia berdosa dan ia mendapat pula dosa orang yang mengamalkan bid’ah itu sampai dengan Hari Kiamat. Maka sungguh buruklah orang yang berpendapat bahwa adzan kedua Shalat Jum’at itu bid’ah (dhalalah), karena dengan demikian ia berkesimpulan bahwa Utsman bin Affan adalah ahli bid’ah yang akan memikul dosa semua orang yang melakukan adzan Jum’at dua kali. Sungguh kesimpulan yang sembrono dan salah besar. Sedangkan dalam beberapa Hadits, beliau telah dijamin oleh Rasulullah SAW sebagai ahli surga.

Dari Abu Musa Al-Asy`ari Ra., ia berkata: ”Tatkala Rasulullah SAW berada dalam salah satu kebun Madinah sedang bersandar dengan menancapkan sebatang kayu antara air dan tanah tiba-tiba datang seseorang yang ingin menemui Rasulullah saw. ............... Kemudian Rasulullah saw. duduk dan bersabda: Bukakanlah pintu dan sampaikanlah kabar gembira tentang surga dengan musibah yang akan menimpa. Aku pun pergi menemui orang itu, ternyata dia adalah Usman bin Affan. Aku bukakan pintu untuknya dan menyampaikan kepadanya berita gembira tentang surga. Usman lalu berkata: Ya Allah, (berilah) kesabaran atau Allah-lah Yang Maha Penolong.” (HR Imam Muslim, Shahih Muslim No.4416)

E. Sebagai Gambaran Mengenai Macam-Macam Hukum Terkait Amalan Bid’ah

Di antaranya:
• Membukukan Al-Qur’an, termasuk bid’ah hasanah, bahkan wajib.
• Adanya titik dan harakat pada tulisan Al-Qur’an, termasuk bid’ah hasanah.
• Membukukan hadits-hadits Nabi SAW, termasuk bid’ah hasanah, bahkan wajib.
• Menyusun Kitab Tafsir, Kitab-kitab Fiqih, belajar Ilmu Nahwu, Sharaf, dll., termasuk bid’ah hasanah.
• Mendirikan madrasah dan menyelenggarakan pendidikan ke-Islam-an, termasuk bid’ah hasanah.
• Berhaji menggunakan kendaraan, termasuk bid’ah hasanah.
• Adzan Jum’at dua kali, termasuk bid’ah hasanah.
• Shalat Tarawih berjama’ah, termasuk bid’ah hasanah.
• Maulid
• Tahlilan
• dan lain-lain

Demikian uraian mengenai masalah bid’ah ini, semoga dapat memberikan penjelasan yang memadai dan berguna baik di dunia maupun di akhirat.

Wa Allah al-Muwaafiq ilaa aqwaam ath-thariiq, Wa Allaahu A’lam bi ash-showaab

Al-Faqiir ilaa rahmati Rabbihi
H.M. Dawud Arif Khan, S.E., M.Si., Ak., CPA

*************
*************