Hijab secara bahasa adalah penutup/penghalang/pembatas.
Secara
Syari'ah : penutup aurat berupa kain atau benda apapun yg menghalangi
terlihatnya warna kulit (tidak transparan seperti plastik, kaca, dlsb.)
bagi pria menurut Madzhab Syafi'i adalah antara lutut dan pusar, bagi
budak adalah dua kemaluannya. Dan bagi wanita adalah seluruh
tubuhnya dalam Madzhab Syafi'i, dan pendapat lain mengatakan seluruh
tubuhnya kecuali wajah.
Dan bagi kita untuk sedikit demi sedikit
merangkak pada syari'ah, kalau ia wanita yang biasa membuka auratnya, maka
baiknya ia memulai dengan menggunakan pakaian panjang, atau celana
panjang, lalu mulai mengenakan jilbab ringkas, lalu berjalan waktu
dengan kemuliaan yang ada pada imannya untuk menggunakan jilbab yang lebih
menutup seluruh rambut dan lehernya, lalu kemudian ia meningkat kepada hal
yang lebih mulia, yaitu meninggalkan pakaian-pakaian ketatnya menuju kepada
kesempurnaan puncak, yaitu sempurnanya syari'ah atas mereka, yaitu
menutup seluruh tubuhnya dan menggunakan pakaian yang longgar.
Ada
hadits, bahwa Rasul saw bertanya pada para sahabat, "Wanita manakah yang
paling sempurna?" Maka semua sahabat terdiam, dan saat itu di antara
mereka adalah Sayyidina Ali kw yang kemudian bertanya kepada istrinya
(Fathimah Puteri Rasul saw). Maka Fathimah Azzahra Radhiyallah 'anha
(beliau digelari Sayyidatunnisa'il 'alamin: pemimpin wanita seluruh
alam) menjawab, "Wanita yang tak melihat lelaki dan tak terlihat oleh
kaum lelaki?" Maka ketika ucapan ini disampaikan kepada Rasul saw maka Rasul
saw berkata, "Tepat!"
Dalil atas hijab ini sudah jelas. Dalam
Alqur'an pun dijelaskan dengan jelas pada surat Annuur ayat 31, "Katakanlah kepada wanita-wanita beriman agar menundukkan pandangannya dari melihat kaum lelaki dan menjaga kemaluannya dari hal yang diharamkan, dan jangan pula memperlihatkan perhiasannya (kalung dlsb.) kecuali yang gterlihat di pakaiannya, dan agar menutupkan cadarnya di atas wajahnya dan dada serta lehernya, dan janganlah memperlihatkan perhiasannya (dengan membuka jilbabnya) kecuali kepada suaminya, atau ayah mereka, atau ayah dari suami mereka (mertua), atau anak lelaki mereka (anak kandung atau anak
suson), atau anak suami mereka (anak tiri mereka), atau saudara-saudara mereka (adik/kakak secara keturunan dan suson), atau anak saudara mereka (keponakan), atau wanita lainnya (wanita muslimah lainnya dan aurat
harus tertutup pula bila berhadapan dengan wanita non muslim), atau budak wanita mereka ... hingga akhir ayat (Annur 31).
(Rujuk Tafsir Ibn Abbas surat Annuur)
Namun
pendapat yang kedua berpendapat bahwa hal ini (menutup seluruh tubuh
dengan serapat-rapatnya hingga tak terlihat oleh kaum lelaki) adalah hanya pada
istri-istri Rasul saw. Namun pendapat pertama yg lebih Arjah (lebih
kuat), demikian dalam Madzhab Syafi'i, namun ada perbedaan pada madzhab yang
lain, wallahu a'lam
Ada pula
keringanan bagi wanita yang bekerja, untuk membuka wajahnya, demikian
dalam kitab Syarh Baijuri Syarh Abi Syuja' alaa Madzhab Syafi;i, bab
Ahkam Shalat. Maka jelaslah sudah bahwa kesimpulannya puncak
kehormatan wanita adalah menutupi dirinya hingga tak terlihat oleh kaum
lelaki. (wanita yang berjilbab dan berpakaian agak ketat, masih akan
terlihat lekukan dan bagian tubuh yang menonjol di bagian dada dan
belakangnya). Inilah puncak kesempurnaan wanita.
Dan masih banyak
lagi dari hal-hal yg diperintahkan Allah yang mungkin belum mampu kita
jalankan secara keseluruhan, seperti membicarakan aib orang lain
misalnya, merupakan dosa besar, demikian pula mengumpat dll., namun ini
semua tak akan kita mampu menghindarinya kecuali dengan tadriij (bertingkat
tingkat dan selangkah demi selangkah). Dan setiap usaha untuk mencapai
suatu perintah Allah, merupakan pahala, sebagaimana saya jelaskan
di atas, maka wanita yang menyadari bahwa menutup seluruh tubuhnya adalah
wajib, lalu ia mulai berusaha menutup auratnya sedikit demi sedikit,
maka saat-saat waktu berjalan itu ia tertulis sebagai wanita yang menuju
kesempurnaan.
Contoh :
Dua orang wanita sama-sama mengenakan pakaian ketat, kita sebutlah Rani dan Rena. Rena memang sejak dewasa sudah asyik dengan celana ketat, dan tak pernah perduli dengan perintah Allah swt walaupun ia seorang muslim.
Namun
Rani pada awalnya adalah wanita yang suka memakai celana pendek di depan
umum, namun ia kemudian mengetahui bahwa setiap wanita harus menutup
auratnya. Rani pun menyesali dosanya, ia membatin, "Aduh...! Aku belum
mampu tuh kalau harus pakai tutupan lengkap, tapi kalau aku gini ya
aku dosa.. Ah.. biar deh, aku akan coba perlahan-lahan, supaya ngga
nyolok juga. Dan aku bercita-cita akan sampai pada kesempurnaan kaum
wanita dan kehormatan tertinggi." Maka ia membeli celana ketat untuk
menggantikan celana pendeknya dan ia sudah melirik-lirik jilbab ketat
yang akan ia gunakan dalam waktu dekat, dan ia telah memesan pakaian
daster longgar dengan warna yang indah walau ia masih ragu kapan akan
mampu menggunakannya.
Wah! Alangkah tingginya derajat Rani di atas
Rena, bukankah sama-sama menggunakan pakaian ketat? Yah... namun
sanubari yang menyimpan niat mulia, berbeda dengan sanubari yang kosong dari niat mulia. Sebagaimana berlian dan batu kali, sama-sama berasal dari
bebatuan dan namanya pun tetap batu, namun? jauh berbeda kehormatannya
di mata orang, lalu bagaimana kalau kehormatannya jauh berbeda bukan
di mata orang, tapi dimata Allah?
Wanita menggunakan hijab
karena menjalankan perintah yang Maha Menciptakannya dari ketiadaan,
sebagaimana lelakipun diperintahkan menutupi auratnya, sebagaimana kita
mematuhi aturan RT, RW, aturan lalu lintas, sabuk pengaman, helm dlsb.,
mungkin kita akan melanggar bila kita yakin akan bisa terhindar dari
denda atau hukuman. Namun kita akan patuh dengan santai menggunakan
helm dan atau sabuk pengaman atau mematuhi aturan lalu lintas bila
dengan setiap kepatuhan itu kita dibayar dengan kuiitansi mendapatkan
sebuah rumah istana yang maha megah dengan segala keindahan dan
kemewahannya dan kita takut pula melanggarnya karena pasti dicengkram
dalam siksaan penjara super kejam ribuan tahun, bukankah demikian? Ya... demikianlah orang-orang yang berakal.
Dan bagaimana mereka yang menolaknya? Bukankah mereka orang yang merugi?
Ya, mereka orang-orang yang merugi.
Namun
diatas itu semua, Allah tak akan memaksa lebih dari kemampuan kita,
maka janganlah gusar dengan perintahnya, karena gusar dan penentangan
akan membuka gerbang kemarahan Nya semakin membesar. Namun tunduk dan
pasrahlah pada Nya, mengadulah bahwa kita masih sangat lemah untuk
mengamalkan beberapa perintahnya, wahai penduduk bumi, jauh berbeda
antara orang yang ketika diperintah raja, lalu ia mengatakan pada Raja, "Aku tak mau! Aku menolak dan benci!" atau orang yang berkata kepada rajanya "Maafkan kelemahanku... aku tak mampu..kasihanilah
kelemahanku."
Wallahu a'lam
***
dikutip dari jawaban Habib Munzir al Musawa
www.majelisrasulullah.org
0 komentar:
Posting Komentar