"Apabila Engkau sedikit berdzikir (mengingat Allah SWT di dunia) niscaya sedikit pula kesempatanmu memandang-Nya dan kedekatanmu pada-Nya di akhirat." (Al Habib Umar bin Hafidz)


Senin, 25 November 2013

Hijab pada Wanita

Hijab secara bahasa adalah penutup/penghalang/pembatas.
Secara Syari'ah : penutup aurat berupa kain atau benda apapun yg menghalangi terlihatnya warna kulit (tidak transparan seperti plastik, kaca, dlsb.) bagi pria menurut Madzhab Syafi'i adalah antara lutut dan pusar, bagi budak adalah dua kemaluannya. Dan bagi wanita adalah seluruh tubuhnya dalam Madzhab Syafi'i, dan pendapat lain mengatakan seluruh tubuhnya kecuali wajah.

Dan bagi kita untuk sedikit demi sedikit merangkak pada syari'ah, kalau ia wanita yang biasa membuka auratnya, maka baiknya ia memulai dengan menggunakan pakaian panjang, atau celana panjang, lalu mulai mengenakan jilbab ringkas, lalu berjalan waktu dengan kemuliaan yang ada pada imannya untuk menggunakan jilbab yang lebih menutup seluruh rambut dan lehernya, lalu kemudian ia meningkat kepada hal yang lebih mulia, yaitu meninggalkan pakaian-pakaian ketatnya menuju kepada kesempurnaan puncak, yaitu sempurnanya syari'ah atas mereka, yaitu menutup seluruh tubuhnya dan menggunakan pakaian yang longgar.

Ada hadits, bahwa Rasul saw bertanya pada para sahabat, "Wanita manakah yang paling sempurna?" Maka semua sahabat terdiam, dan saat itu di antara mereka adalah Sayyidina Ali kw yang kemudian bertanya kepada istrinya (Fathimah Puteri Rasul saw). Maka Fathimah Azzahra Radhiyallah 'anha (beliau digelari Sayyidatunnisa'il 'alamin: pemimpin wanita seluruh alam) menjawab, "Wanita yang tak melihat lelaki dan tak terlihat oleh kaum lelaki?" Maka ketika ucapan ini disampaikan kepada Rasul saw maka Rasul saw berkata, "Tepat!"

Dalil atas hijab ini sudah jelas. Dalam Alqur'an pun dijelaskan dengan jelas pada surat Annuur ayat 31, "Katakanlah kepada wanita-wanita beriman agar menundukkan pandangannya dari melihat kaum lelaki dan menjaga kemaluannya dari hal yang diharamkan, dan jangan pula memperlihatkan perhiasannya (kalung dlsb.) kecuali yang gterlihat di pakaiannya, dan agar menutupkan cadarnya di atas wajahnya dan dada serta lehernya, dan janganlah memperlihatkan perhiasannya (dengan membuka jilbabnya) kecuali kepada suaminya, atau ayah mereka, atau ayah dari suami mereka (mertua), atau anak lelaki mereka (anak kandung atau anak suson), atau anak suami mereka (anak tiri mereka), atau saudara-saudara mereka (adik/kakak secara keturunan dan suson), atau anak saudara mereka (keponakan), atau wanita lainnya (wanita muslimah lainnya dan aurat harus tertutup pula bila berhadapan dengan wanita non muslim), atau budak wanita mereka ... hingga akhir ayat (Annur 31).
(Rujuk Tafsir Ibn Abbas surat Annuur)

Namun pendapat yang kedua berpendapat bahwa hal ini (menutup seluruh tubuh dengan serapat-rapatnya hingga tak terlihat oleh kaum lelaki) adalah hanya pada istri-istri Rasul saw. Namun pendapat pertama yg lebih Arjah (lebih kuat), demikian dalam Madzhab Syafi'i, namun ada perbedaan pada madzhab yang lain, wallahu a'lam

Ada pula keringanan bagi wanita yang bekerja, untuk membuka wajahnya, demikian dalam kitab Syarh Baijuri Syarh Abi Syuja' alaa Madzhab Syafi;i, bab Ahkam Shalat. Maka jelaslah sudah bahwa kesimpulannya puncak kehormatan wanita adalah menutupi dirinya hingga tak terlihat oleh kaum lelaki. (wanita yang berjilbab dan berpakaian agak ketat, masih akan terlihat lekukan dan bagian tubuh yang menonjol di bagian dada dan belakangnya). Inilah puncak kesempurnaan wanita.
 

Dan masih banyak lagi dari hal-hal yg diperintahkan Allah yang mungkin belum mampu kita jalankan secara keseluruhan, seperti membicarakan aib orang lain misalnya, merupakan dosa besar, demikian pula mengumpat dll., namun ini semua tak akan kita mampu menghindarinya kecuali dengan tadriij (bertingkat tingkat dan selangkah demi selangkah). Dan setiap usaha untuk mencapai suatu perintah Allah, merupakan pahala, sebagaimana saya jelaskan di atas, maka wanita yang menyadari bahwa menutup seluruh tubuhnya adalah wajib, lalu ia mulai berusaha menutup auratnya sedikit demi sedikit, maka saat-saat waktu berjalan itu ia tertulis sebagai wanita yang menuju kesempurnaan. 

Contoh :
Dua orang wanita sama-sama mengenakan pakaian ketat, kita sebutlah Rani dan Rena. Rena memang sejak dewasa sudah asyik dengan celana ketat, dan tak pernah perduli dengan perintah Allah swt walaupun ia seorang muslim.

Namun Rani pada awalnya adalah wanita yang suka memakai celana pendek di depan umum, namun ia kemudian mengetahui bahwa setiap wanita harus menutup auratnya. Rani pun menyesali dosanya, ia membatin, "Aduh...! Aku belum mampu tuh kalau harus pakai tutupan lengkap, tapi kalau aku gini ya aku dosa.. Ah.. biar deh, aku akan coba perlahan-lahan, supaya ngga nyolok juga. Dan aku bercita-cita akan sampai pada kesempurnaan kaum wanita dan kehormatan tertinggi." Maka ia membeli celana ketat untuk menggantikan celana pendeknya dan ia sudah melirik-lirik jilbab ketat yang akan ia gunakan dalam waktu dekat, dan ia telah memesan pakaian daster longgar dengan warna yang indah walau ia masih ragu kapan akan mampu menggunakannya.

Wah! Alangkah tingginya derajat Rani di atas Rena, bukankah sama-sama menggunakan pakaian ketat? Yah... namun sanubari yang menyimpan niat mulia, berbeda dengan sanubari yang kosong dari niat mulia. Sebagaimana berlian dan batu kali, sama-sama berasal dari bebatuan dan namanya pun tetap batu, namun? jauh berbeda kehormatannya di mata orang, lalu bagaimana kalau kehormatannya jauh berbeda bukan di mata orang, tapi dimata Allah?


Wanita menggunakan hijab karena menjalankan perintah yang Maha Menciptakannya dari ketiadaan, sebagaimana lelakipun diperintahkan menutupi auratnya, sebagaimana kita mematuhi aturan RT, RW, aturan lalu lintas, sabuk pengaman, helm dlsb., mungkin kita akan melanggar bila kita yakin akan bisa terhindar dari denda atau hukuman.  Namun kita akan patuh dengan santai menggunakan helm dan atau sabuk pengaman atau mematuhi aturan lalu lintas bila dengan setiap kepatuhan itu kita dibayar dengan kuiitansi mendapatkan sebuah rumah istana yang maha megah dengan segala keindahan dan kemewahannya dan kita takut pula melanggarnya karena pasti dicengkram dalam siksaan penjara super kejam ribuan tahun, bukankah demikian? Ya... demikianlah orang-orang yang berakal.
 

Dan bagaimana mereka yang menolaknya? Bukankah mereka orang yang merugi?
Ya, mereka orang-orang yang merugi.
Namun diatas itu semua, Allah tak akan memaksa lebih dari kemampuan kita, maka janganlah gusar dengan perintahnya, karena gusar dan penentangan akan membuka gerbang kemarahan Nya semakin membesar. Namun tunduk dan pasrahlah pada Nya, mengadulah bahwa kita masih sangat lemah untuk mengamalkan beberapa perintahnya, wahai penduduk bumi, jauh berbeda antara orang yang ketika diperintah raja, lalu ia mengatakan pada Raja, "Aku tak mau! Aku menolak dan benci!" atau orang yang berkata kepada rajanya "Maafkan kelemahanku... aku tak mampu..kasihanilah kelemahanku."


Wallahu a'lam

***
dikutip dari jawaban Habib Munzir al Musawa
www.majelisrasulullah.org

0 komentar:

Posting Komentar