"Apabila Engkau sedikit berdzikir (mengingat Allah SWT di dunia) niscaya sedikit pula kesempatanmu memandang-Nya dan kedekatanmu pada-Nya di akhirat." (Al Habib Umar bin Hafidz)


Sabtu, 08 Oktober 2011

23. Perjalanan Dakwah ke Kokoda Irian Barat

- - - Guru pengajar berupa ulama atau pesantren tidak ada di Taminabuan, namun mereka bertahan dengan bimbingan dari Bpk. Syamsudin dan Raja Tarof. Di tengah derasnya hempasan kekuatan dakwah agama non muslim, sekolah sekolah non muslim bahkan universitas berdiri, dan muslimin terlihat sangat terkucil di wilayah ini dan terus semakin terpuruk. Saya percaya kedua orang baik dan beberapa gelintir orang mulia dan beriman di wilayah itu akan terus bertahan. Semoga santri-santri yang di bawa ke Jakarta akan segera kembali dan berdakwah pula di Teminabuan. Semoga Matahari Dakwah telah terbit dengan berkumandangnya Maulid Dhiya’ulllami di Teminabuan. Amiin. - - -

Dari www.majelisrasulullah.org
Ditulis Oleh: Habib Munzir al Musawa
Pkl 6.00 WIB (Waktu Indonesia bagian Barat), Selasa, 26 Januari 2010 kami empat personil, Munzir Almusawa, Saeful Zahri, Hamidi Sanusi, Muhamad Ainiy. Kami meninggalkan Bandara Soekarno Hatta Jakarta dengan penerbangan Garuda Air menuju Makasar (ujungpandang). Kami diantar oleh beberapa crew penyambutan khusus Divisi Majelis Rasulullah saw dari para staf Bandara Soekarno untuk diantarkan ke pintu pesawat dan memperlancar segala sesuatunya. Mereka pula yang selalu menjadi crew penyambutan kedatangan para tamu Majelis Rasulullah saw, termasuk saat kedatangan Guru Mulia (Habib Umar bin Hafidz) ke Jakarta.
Pesawat lepas landas tepat 06.00 WIB menuju Makasar untuk meneruskan menuju Sorong Irian Barat dengan penerbangan Merpati Air. Kami tiba tepat waktu skedul, yaitu 9.15 WITA (Waktu Indonesia bagian Tengah, yaitu 8.15 WIB) di Bandara Hasanudin Makasar, lalu segera berpindah ke pesawat Merpati Air dengan skedul keberangkatan pkl 9.35 WITA (8.35 WIB), keberangkatan tepat waktu menuju Sorong. Saya duduk di sebuah kursi bersebelahan dengan Bang Ipul (Saeful Zahri), lalu tiba-tiba seorang penumpang mengarahkan foto pada saya dan memfoto sambil terburu-buru izin memfoto. Selepas itu saya tanyakan padanya apakah ia wartawan? Ternyata bukan wartawan, dan beliau (saya tidak berkenan menyebut namanya sebab tidak sempat minta izin untuk menampilkan namanya di laporan ini risau beliau tidak berkenan), ia seorang karyawan di suatu perusahaan penerbangan dan merupakan orang yang berada, terbukti pengakuannya bahwa beliau ke Sorong adalah untuk tamasya memancing. Beliaupun dari Jakarta bersama temannya.
Beliau sangat mengejutkan saya ketika saya tanya siapa diri beliau, bapak setengah baya itu berkata, “Saya (…..), saya semalam terjebak macet 1 jam di Pancoran Pasar Minggu saat majelis Ustadz berlangsung!”.
Saya bagai disambar halilintar, saya gemetar walau ia tak melihatnya. Saya bertanya, “Maksudnya terhambat atau bagaimana pak?”.
Ia berkata dengan jelas, “Saya terjebak macet tidak bergerak mobil saya 1 jam lebih saat bubaran majelis bapak ustadz”.
Saya pun mohon ampun dan ridho, dan terus beristighfar pada Allah swt. Saya sangat takut dan sudah berkali-kali menyampaikan pada crew dan aktifis, agar lalu lintas tak tertutup saat majelis. Sungguh itu dosa besar yang harus saya tanggung, dan berapa ratus orang yang akan memintai pertanggungan jawab dihari kiamat pada saya akan hal ini?
Saya terus menjelaskan bahwa sungguh kami tak bermaksud demikian, namun saat bubaran memang massa tak tertampung. Saat majelis berlangsung pun Masjid Almunawar tidak bisa menampung Jamaah yang kini berjumlah sekitar 30.000 personil setiap malam selasanya dan terus bertambah. Maka saat bubaran massa yang menyeberang dan lain sebagainya mungkin membuat jalan tertutup dan itu ternyata bukan kemungkinan, tapi sudah terjadi, dan mungkin sudah berkali kali terjadi. Saya terus minta maaf padanya dan ia pun dengan lapang dada memaafkan dan membuat kami semakin akrab. Ia tinggal di Depok dan selama saya berbicara akrab airmata saya terus mengalir karena sedih dan takut, bagaimana dengan ratusan orang lainnya yang saya tak sempat minta maaf padanya? Neraka bagi munzir pendosa ini…!
Saya berjanji pada diri saya dan padanya bahwa malam selasa yang akan datang kami akan berusaha membenahi lalu lintas dengan sebaik-baiknya, bersama personil dari Polda Metro Jaya dan Polres Jaksel dan Polsek setempat.
Kami mendarat tepat waktu di Bandara Sorong, yaitu 12.35 WIT (Waktu Indonesia Timur yaitu 10.35 WIB), disambut oleh KH Ahmad Baihaqi yang sudah mendahului kami seminggu yang lalu.
Kami kunjung kerumah Bapak seorang anggota DPRD yang almarhum ayah dan kakeknya membangun beberapa masjid di Sorong dan ia meneruskan perjuangan mereka. Sekilas saya terhenyak mendengar keadaan keputusan banyak hal yang lebih cenderung berfihak pada non muslim dalam beberapa keputusan dan kebijaksanaan yang diambil pemerintah setempat. Saya bertanya, “apakah anggota DPRD setempat kebanyakan non muslim?”. Ia menjawab, “Ya.”
Saya bertanya lagi, “Apakah muslimin minoritas di Sorong?”.
Ia menjawab, “Tidak, bahkan mayoritas.”
“Lalu kenapa anggota DPRD nya kebanyakan non muslim?”
Beliau menjawab sambil menunduk malu, “Saudara-saudara kita muslimin yang memilih mereka”.
Saya terhenyak kaget, air mata tak bisa tertahan lagi, ingin rasanya saya menangis sekeras kerasnya atas kejadian ini.
Kami dijamu makan siang di rumahnya, ia menyiapkan mobil-mobilnya untuk menjemput dan mengantar kami. Semoga rahmat dan kebahagiaan selalu berlimpah padanya dan keluarga beliau, amiin. Dan kami meneruskan perjalanan ke Teminabuan, sekitar 200 km dari Sorong. Kami mengendarai mobil sewaan, (Mitsubishi Ranger 4X4) sopirnya adalah saudara Asri. Ia polos dan baik, pemuda itu sangat santun dan membuat saya akrab dengannya. Ia asli Makasar yang bekerja sebagai sopir sewaan mobil di Sorong.
Perjalanan kami memakan waktu 6 jam karena kondisi jalan yang banyak rusak dan berkelok kelok. Walau sebagian jalan sudah baik namun sebagian masih dalam pembenahan, namun jauh lebih baik kondisinya dibanding perjalanan saya 2 tahun yang lalu antara Manokwari Bintuni.
Disepanjang jalan di luar kota Sorong kami tak menemukan kampung Muslimin, hanya wilayah non Muslim dan tempat peribadatan mereka yang megah yang terus terlihat sepanjang jalan. Namun masyarakat ramah, walau kami semua berpakaian islami namun mereka tetap ramah walau mereka non Muslim.
Di tengah perjalanan mobil kami berhenti, karena seorang tokoh agama non muslim wanita yang sudah berusia sekitar 50-an ingin menumpang ke Taminabuan. Maka Asri memohon izin saya menaikkannya. Karena mobil sudah di carter untuk kami, tentu saya mengizinkan. Maka Ibu biarawati tersebut naik di bak belakang mobil 4X4 itu bersama barang.
Perjalanan kami teruskan, lalu sekitar 1 jam kemudian rintik-rintik hujan mulai turun. Hati saya terasa tercekik, sungguh walau ia non muslim maka bagaimana ia seorang wanita yg usianya cukup tua duduk di bak terbuka di belakang dengan terpaan hujan? Ia seorang pemuka dan guru agama non muslim, ia tabah dan berdakwah membela agamanya dengan semangat juang yang luar biasa, dari kampung ke kampung terus mengajar dengan sukarela sepanjang hidupnya mengabdi pada agamanya, sampai rela duduk di Bak belakang mobil dalam keadaan hujan dan panas. Ia wanita, sudah cukup lanjut usia, demikian tabahnya da’i non muslim ini. Hati saya seperti tercabik cabik, saya malu, malu sekali.
Hujan mulai deras, saya tak tahan lagi dan memegang tangan Asri, “Berhenti Asri, berhenti.”.
Maka Asri menghentikan mobil, saya katakan padanya, “Saya mau pindah ke belakang bak terbuka menggantikan posisi ibu itu, biar ia naik di depan tempat saya duduk.”
Asri kaget dan marah, “Tidak mungkin Habib turun pindah ke bak belakang! Habib sudah carter mobil saya! Ini hujan Habib!”
Tiga personil yang bersama saya dan KH Ahmad Baihaqi yang duduk di Jok belakang. Saya pun turun dan mereka pun turun untuk beramai-ramai pindah ke bak belakang. Saya memerintahkan mereka tetap dalam posisinya, cukup satu orang yang menemani saya di bak belakang, sudah ada satu orang penjaga barang di belakang, dan mereka pun sangat bersempit sempit 4 orang di kursi belakang saya.
Ibu itu tak mau pindah, ia malu dan haru. Maka saya terus memaksanya pindah atau saya tak mau naik mobil, maka ia pun pindah ke depan. KH Ahmad Baihaqi bersama saya di belakang. Perjalanan berlangsung sebentar maka mobil berhenti, Bang Ipul turun untuk meminta saya pindah ke tempatnya maka saya tetap tidak mau. Saya duduk dan mengatakan malas berdiri lagi, ganti saja KH Ahmad baihaqi kedepan, saya tidak mau pindah. Maka demikian bergantian beberapa waktu terus 4 personil bergantian pindah ke belakang, dan saya tetap pada posisi saya tak mau pindah, mereka saja bergantian.
Saya duduk di bak Belakang untuk membalas pilu saya akan semangat seorang wanita tua itu yang penyeru kepada agama non muslim. Aku seorang penyeru ke Jalan Allah, aku malu pada Allah. Patutnya aku berjalan kaki 200 km bukan duduk di bak terbuka yg masih bisa santai.
Hujan menerpa wajahku dan angin, terakhir asri berhenti dan turun dari Mobil, “Habib saja bawa mobil, saya ingin gantikan posisi Habib.”
Saya menghardiknya sambil bercanda, “Tetaplah pada posisimu menyupir bang Asri, bawalah mobil sekencangnya, saya sedang menikmati perjalanan ini. Asri tidak mau lihat saya senang kah?”
Ia pun menurut dan meneruskan perjalanan dengan sekencang-kencangnya. Mobil terhempas-hempas di jalan dan saya sering memegangi peci saya agar tidak tertiup angin. Derasnya hujan terus menerpa wajah ini, terpaksa saya buka kacamata karena terus dibasahi hujan. Saya memakai Jaket Majelis Rasulullah dan saya membatin pada diri ini, “Kau di Jakarta dimanjakan, ribuan orang berebutan ingin mencium tanganmu. Kau dimuliakan dan disanjung. Perjuangan dakwahmu hanya sebatas naik turun mimbar dalam kemuliaan dan sanjungan. Sekarang patut kau rasakan dakwah yang seperti ini, inilah medan seorang da’i penyeru ke Jalan Allah. Wahai tubuh rapuh yg sakit-sakitan! Kau terlalu dimanjakan, kau harus merasakan juga dakwah yang seperti ini.” Lalu syaitan membisikiku, “Kau sudah banyak penyakit, ada peradangan di otak belakang, Asma, bahkan pernah dua kali terkena stroke, sering tertatih tatih berjalan dan sering tidak mampu berdiri karena lemah saat menyampaikan ceramah, duduklah ditempat yang layak bagimu di kursi depan.” Maka ku jawab dengan menghardik diriku sendiri, “Rasakan ledzatnya dakwah, duduk di tempat itu dan bertahan, wahai Munzir pendosa, pemalas dan manja!”
Tubuh serasa hancur dihempas-hempas dalam speed tinggi di bak belakang. Angin terus menerpa, menggigil tubuh kedinginan terkena terpaan angin petang dan hujan, bertahanlah wahai munzir pemalas!
Kami tiba di Teminabuan pkl 20.45 WIT (18.45 WIB), ibu itu turun dan mengucap terimakasih haru. Saya hanya tersenyum, inilah kerukunan ummat beragama, muslim harus lebih sopan dari non Muslim. Da’i muslimin harus lebih berkorban demi kaum wanita apalagi sudah lanjut usia walau non muslim, semoga ia mendapat hidayah.
Ia turun sambil tercenung dan berkata lirih berkata pada Asri sambil tertunduk malu, “Pak haji itu baik sekali ya!”
Aku teringat riwayat bahwa Sayyidina Ali kw tidak mau melewati seorang tua yang berjalan tertatih-tatih, hingga ia terlambat menemui shalat jamaah bersama Rasul saw, dan Rasul saw melamakan rukuknya. Selepas shalat para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah (saw) kau melamakan rukuk tidak seperti biasanya?”
Rasul saw menjawab, “Bahuku ditahan oleh Jibril as untuk tidak i’tidal, demi menanti Ali bin Abi Thalib kw hingga ia tiba dan masuk di shaf, karena adab kesopanannya terhadap orang tua.
Aku teringat akhlak Rasul saw, yang ketika seorang yg selalu memusuhi dakwah beliau saw yaitu Tokoh Qureisy non Muslim membuat jebakan untuk beliau saw agar terpuruk dalam lobang, namun ia sendiri yang terjatuh dalam lobang yang digalinya. Siapa yang menolongnya? Rasulullah saw yang menolongnya dari jebakannya sendiri yang diperuntukkan untuk Rasul saw, padahal ia kuffar quraisy yang terus menyusahkan dan mempersulit dakwah Rasul saw.
Kami masuk ke sebuah hotel, sederhana namun dilengkapi AC. Saya cukup kaget mendengar harga sewa 1 kamar antara 300 hingga 400 ribu rupiah. Kamar standar hotel berbintang tiga di Jakarta seharga itu, namun jauh lebih mewah dari ini. Kamar seperti ini di Jakarta mestilah berkisar 100 ribu atau kurang, namun karena jauhnya dari Jakarta dan susah serta mahalnya barang-barang karena Jauh dari Ibukota, membuat semua harga menjadi mahal di sini, sebagaimana sewa mobil 4X4 itu sebesar 1,5jt rupiah, itupun sudah dikorting oleh Asri karena kami muslimin sebagaimana ia pun seorang muslim. Saya membayar dengan sedikit melebihkannya, Asri menangis, ia tertegun, “Habib sudah duduk di bak belakang, bagaimana habib membayar lebih pula…”. Saya katakan sungguh karena saya senang dalam perjalanan ini dan saya menyayangi Asri yang berbudi baik dan polos. Ia pun diberi peci putih oleh H. Hamidi, ia gembira memakainya dan tertawa-tawa bangga. Kami semakin akrab, saya tunjukkan cuplikan beberapa detik majelis besar event Majelis Rasulullah saw di Monas 4 februari 2010 lalu dari hp saya. Ia bertakbir dan menjerit dan menangis, haru betapa dahsyatnya dan jumlah massa ratusan ribu yg terlihat hadir, dan lebih haru bahwa orang yg dihadapannya adalah pimpinan majelis itu.
Lalu kami masuk hotel itu untuk mandi dan shalat jamak magrib dan isya. Lalu kunjung ke undangan makan malam dirumah Bpk. Syamsuddin. Dihadiri pula oleh Raja Tarof (ketua kampong Tarof) dan beberapa tokoh sepuh setempat. Jamuan akrab dan air mata tak berhenti mengalir haru melihat hangatnya jamuan mereka.
Dan keesokan harinya, Rabu, 27 Januari 2010, kami bertolak dengan kapal sewaan menuju kokoda, sekitar 200 km lagi yang mesti kami tempuh dalam perjalanan menyusuri pantai dan sungai menuju Kokoda. Biaya sewa kapal yang dilengkapi 4 motor itu sekitar 10 juta rupiah, namun bapak Syamsuddin berkata bahwa tidak perlu keluarkan biaya, ia yg menanggungnya. Hancur hati ini, wahai Allah, muliakan ia dengan semulia mulia keadaan, dunia dan akhirat. Aku malu, di Jakarta seorang muslim sulit mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah untuk membantu dakwah Nabi saw, namun disini seorang tokoh masyarakat yang bukan merupakan ulama besar, bukan pula pengusaha besar, rela mengorbankan dana sebesar itu demi sampainya saya ke Kokoda. Wahai Allah, jamulah ia setiap detik dalam keluhuran dan kebahagiaan, dan sebagaimana ia menjamin perjalanan kami maka jaminlah ia dan keluarganya dunia dan akhirat dalam jamuan kebahagiaan, amiin.
Pendanaan keberangkatan ini dari sebagian dari partisipasi jamaah Milis Majelis Rasulullah saw sebesar 16 juta rupiah, dan sisanya dari beberapa donator dan pribadi, dan sisanya pinjam dari beberapa Jamaah Majelis Rasulullah saw.
Rabu, 27 Januari 2009, dinihari saya terbangun untuk memuji Nya. Lalu saya menulis laporan di kursi plastik, menghadap sungai yang demikian derasnya di bawah hotel ini, dan saya tumpahkan semua yang masih terekam difikiran saya hari itu. Lalu kami shalat subuh di masjid dekat Hotel Nusa Indah, Teminabuan, kira-kira beberapa orang saja yg hadir, lalu selepas subuh mereka meminta saya menyampaikan sedikit tausiyah, lalu jamaah berpisah dan kami kembali ke hotel, meneruskan dzikir, dan pukul 7 pagi waktu setempat kami dijamu sarapan dirumah Bpk Syamsudin. Kami membaca Maulid Dhiya’ullami yang pertama kalinya dikumandangkan di Teminabuan, sekaligus mendoakan rumah barunya itu yang kelak akan ditinggalinya.
Selepas maulid saya menyampaikan tausiyah sekilas, lalu sarapan pagi. Selepas itu tampak Bapak Syamsudin kebingungan saat menerima telpon, wajahnya pucat dan bingung, “Maaf Habib, kapal yang mesti Habib tumpangi kandas dipantai!”
Sayapun kaget, lalu kami bersama sama diikuti Asri menuju Pelabuhan. Benar saja, kapal itu kandas di pemarkiran kapal, sebab semestinya semalam nakoda menyiapkannnya di dermaga, namun ia ketiduran, maka kapal dibiarkan di pemarkiran kapal, maka saat pagi laut surut dan kapalpun kandas.
Ia tampak risau dan bingung, para muslimin pun berteriak teriak, “Kita dorong bersama sama!”. Merekapun turun. Subhanallah… Saya diminta menunggu di masjid dekat pantai, saya bisa ke toilet atau i’tikaf di masjid sementara menunggu kapal didorong, Usaha baru selesai jam 9.30 WIT. Saya turun dari masjid kapal sudah di Dermaga siap mengantar kami.
Kami meluncur menuju Kokoda, Kapal Dishub adalah yang terbaik di Teminabuan, ia dilengkapi 3 mesin, maka perjalanan menjadi lebih cepat. Umumnya membutuhkan waktu 8-12 jam, namun jam 13.30 WIT kami sudah tiba di Kokoda. Sepanjang 4 jam perjalanan saya terus termangu-mangu memikirkan keadaan, wilayah yg terpencil, telepon belum masuk, listrik baru di Teminabuan dan itu pun hanya malam saja. Guru pengajar berupa ulama atau pesantren tidak ada di Taminabuan, namun mereka bertahan dengan bimbingan dari Bpk. Syamsudin dan Raja Tarof. Di tengah derasnya hempasan kekuatan dakwah agama non muslim, sekolah sekolah non muslim bahkan universitas berdiri, dan muslimin terlihat sangat terkucil di wilayah ini dan terus semakin terpuruk. Saya percaya kedua orang baik dan beberapa gelintir orang mulia dan beriman di wilayah itu akan terus bertahan, semoga santri-santri yang di bawa ke Jakarta akan segera kembali dan berdakwah pula di Teminabuan. Semoga Matahari Dakwah telah terbit dengan berkumandangnya Maulid Dhiya’ulllami di Teminabuan. Amiin.
Kami meluncur menuju Kokoda, wilayah muslim ketiga yang dimasuki ulama Hadramaut yang tiba dari Gujarat ke Fak Fak, lalu Babo, lalu Kokoda. Mereka membangun Masjid Annur di Kokoda dan kata-kata yang masyhur dari ucapan para ulama Hadramaut itu adalah, “Kami Taruhkan Cahaya di Kokoda”, maka disana terdapat Masjid Annur. Saya semakin penasaran untuk sampai di Kokoda, wilayah yang ratusan tahun yg lalu dikunjungi para habaib, dari keluarga Assegaf, Alhabsyi, Alhamid, dll, yang kemudian tidak disentuh para Habaib ratusan tahun berselang.
Konon wilayah Kokoda semakin tak mengenal shalat lima waktu, hanya sholat Jumat yang masih dikenal di wilayah itu, namun kedatangan KH Ahmad Baihaqi membawa beberapa santri dari kokoda, dan kembali kesana beberapa waktu yg lalu, benar benar membuat hidup masyarakat kokoda. Mereka para sepuh dan tetua kampung terharu dan mendukung penuh dengan semangat yang kembali terbit, setelah ratusan tahun tempat itu tak pernah lagi dikunjungi para habaib.
Salah seorang santri yg dibawa ke Jakarta mengirim surat pada ayahnya di Kokoda, diantara tulisan di suratnya, “Ayah, jangan tinggalkan shalat lima waktu, dan pesan Habib Munzir perbanyak dzikir Yaa Allah Yaa Allah.”. Sejak itu ayahnya dan keluarganya tak lagi minum minuman keras, mulai mendirikan shalat lima waktu, subhanallah.
Kami mendekat ke Kokoda, pemandangan yang sangat mengharukan, 3 perahu rakit dengan bendera Majelis Rasulullah saw menyambut kami dengan para anak-anak murid didik KH Ahmad Baihaqi dari Jakarta yang sudah berada dilokasi menjemput kedatangan kami dengan Tholaal Badru alaina.
Kami merapat di pelabuhan Kokoda pkl 14.30 WIT, maka masyarakat seluruhnya sudah ramai di pelabuhan menyambut kedatangan kami. Mereka bertakbir dan sholawat. Ucapan takbir dan sholawat adalah ucapan sambutan terhangat untuk tamu-tamu besar, para tokoh Masyarakat bahkan Ketua Tokoh Agama yaitu Ayahanda Bapak Abas Totorago, yang merupakan anak dari Bapak Raja Tarof turut menyambut kedatangan kami. Kami terus diarak dengan hadroh ke Masjid Annur, sambutan sekilas, lalu kami dipersilahkan ke rumah yang disediakan khusus untuk kami. Pemilik rumah sudah wafat beberapa waktu yang lalu, rumah ini cukup bagus di wilayah kokoda, namun tidak ada listrik, tidak ada Jaringan handphone apalagi telepon.
KH Ahmad Baihaqi membawa mesin diesel untuk penerangan kami di rumah ini, kampung ini keseluruhannya mayoritas muslimin, dan seberang kampung adalah mayoritas nasrani, namun tidak ada permusuhan. Kerukunan ummat beragama sangat terjaga di wilayah ini.
Magrib jamaah sudah memenuhi masjid, setelah diumumkan saya akan menyampaikan tausiyah di Masjid Annur, pria dan wanita sudah ramai. Shalat Magrib berjamaah dilakukan dengan sangat tertib dan khusyu. Banyak orang muslim yang baru pertama kali sholat walau mereka sudah lanjut usia dan masih tersisa banyak yang duduk di rumah saja tanpa ikut shalat. Segala puji bagi Mu Wahai Allah.
Kemudian saat adzan Isya dikumandangkan, semakin banyak masyarakat berdatangan, mereka yang saat Magrib tidak datang mungkin merasa terpanggil untuk datang, juga diajak oleh teman temannya. Maka para anak-anak, pemuda-pemudi, sampai yang sudah lanjut usia memenuhi masjid dan Masjid Annur tidak lagi bisa menampung jumlah mereka, bahkan Ketua Kampung datang dan para imam dari wilayah Kabupaten Kokoda Sorong Selatan pun berdatangan setelah mendapat info dari KH Ahmad Baihaqi bahwa saya akan datang di wilayah ini.
Mereka senang, bangga, dan gembira, dengan lapang dada Ayahanda Putra Raja Tarof menyampaikan sambutan, bahwa sudah ratusan Tahun Kokoda tidak lagi dikunjungi para habaib, dan kini habib tiba bersama kita.
Acara diteruskan dg Maulid Dhiya’ullami, mereka semakin semarak dan gembira. Lalu saya menyampaikan tausiyah, mereka termenung, menangis, dan terharu, saat acara selesai pk 21.15 WIT, maka airmata masih mengalir di wajah mereka, berebutan gembira untuk bersalaman pun terjadi sebagaimana di Jakarta. Mereka berdesakan maju untuk bersalaman dengan saya. Setelah kesemuanya kebagian bersalaman, kami makan malam di rumah bapak Kadir Anggiluli, ia sangat membantu kami. Lalu kembali ke rumah yang disediakan untuk beristirahat, kami beristirahat.
Pkl 3 dini hari WIT, saya terbangun dan diantar KH Ahmad Baihaqi ke kamar kecil (toilet). Konon itu adalah satu satunya toilet yang ada dan sebagian mereka bersuci dan mencuci di sungai.
Kutulis laporan ini dengan haru. Kami dijaga oleh 6 orang penjaga, yaitu dua orang di depan, dua orang di pintu belakang, dan dua orang disamping rumah, demikian perintah ketua kampong. Saya mengatakan agar tak perlu kami dijaga, namun mereka bertahan, “Kami menjaga hamba Tuhan, kami menjaga Tamu Allah, kami gembira.”.
Pagi ini kami Insya Allah akan subuh di Masjid Annur, lalu makan pagi dan meneruskan perjalanan ke Nebes, wilayah yang juga pernah dikunjungi para habaib dari Gujarat yang berasal dari Hadramaut Yaman. Perjalanan kira-kira 1 jam dengan perahu motor kecil. Insya Allah.
Pagi Kamis 28 januari 2009, subuh berjamaah yang cukup banyak dan merupakan subuh terbanyak setelah ratusan tahun hampir tak ada shalat Subuh di Masjid Annur. Suatu hal yang menarik dan mengejutkan adalah hewan-hewan yang berkhidmat pada kami, ketika saya keluar menuju Masjid untuk shalat subuh sungguh hati ini membatin, “Wahai Allah, rumah ini tidak ada kuncinya, terbuka begitu saja hanya dilengkapi pengganjal pintu dari dalam dan luar, sedangkan di kamar ada laptop dan benda-benda elektronik berharga lainnya, dan para penjaga semua shalat subuh. Kutititpkan pada Mu Wahai Allah.”. Sepulang saya dari masjid saya kaget, di pos penjagaan depan rumah duduk dua ekor kambing yang bangun sambil duduk menjaga dengan kepala tegak, lalu seekor kambing lagi duduk siaga di depan pintu rumah sambil bersimpuh, tak ada orang bisa masuk kecuali harus menginjaknya lebih dahulu.
Saya terpana, sungguh jika sekilas merupakan hal biasa, namun jika difikirkan dengan logika, tak ada kambing berkeliaran di pagi buta, apalagi dua ekor duduk bersimpuh di pos jaga yang kosong, dan satu di pintu rumah dengan keadaan duduk bersimpuh dengan keadaan siaga, yaitu kepala terangkat. Saya teringat laba-laba yang menjaga Rasulullah saw dan teringat cerita nyata sahabat saya yang berdakwah ke Pulau Komodo, Nusa Tenggara, tidak ada orang yang datang ke masjid, saat maulid dikumandangkan maka tak satupun orang hadir, maka keluarlah rusa-rusa liar dari hutan, berdatangan ke luar Masjid, dan banyak komodo bahkan Raja Komodo yg sudah 40 tahun tak pernah keluar dan terlihat, hewan sangat besar dan langka itu datang dan muncul bersimpuh di dekat masjid mendengarkan Maulid Nabi saw hingga selesai. Masyarakat dan turis yang sedang di Pulau komodo berdatangan bukan ingin hadir maulid tapi kaget menonton Raja Komodo itu.
Demikianlah alam, mereka tunduk dan hormat pada Sayyidina Muhammad saw dan dakwah sang Nabi saw. Teringat pula kisah seorang sahabat ra, yang ketika ia tersesat dalam dakwah setelah wafatnya Rasul saw, maka seekor singa besar datang. Lalu sahabat Rasul saw itu bekata, “Aku adalah Khadim (pembantu) Rasulullah saw!”. Maka singa itu menunduk dan merendahkan kepalanya dan punggungnya sambil mengaum pelahan, seakan memerintahkan sahabat Rasul saw itu naik ke punggungnya. Maka ia pun naik dan singa mengantarnya ke pemukiman terdekat. Sedemikian banyak riwayat Shahih lainnya akan hal ini.
Pkl 7.30 WIT kami meluncur ke Nebes (Negara Besar), kira-kira 90 menit dengan perahu kecil dari kokoda, mengunjungi wilayah yang cukup terpencil namun mayoritas muslimin, juga wilayah yang pernah dikunjungi para habaib terdahulu, dan terdapat masjid tua Al Jihad pula disana, hadir pula menyambut kami Imam Dobak Bapak Aliman Gogoba dan Imam Kopdan Bapak Ahmad kokoba, kiri saya Ketua kampung Kokoda yaitu Bapak Rauf Biyawa, dan beberapa santri akan dibawa dari Nebes, Kokoda, Teminabuan, Bintuni dll. Insya Allah minggu depan mereka menuju Jakarta dengan kapal laut bersama KH Ahmad Baihaqi. Kami juga sempat melewati dua masjid yang baru ada pancangnya yang akan dibangun di Nebes, kami berdoa.
Semalam kami sempat berjumpa dengan Imam Siwatori Bapak Muharam Namugur, beliau mengundang dan meminta kami kunjung Ke Siwatori, namun dengan sangat menyesal kami tak bisa, karena waktu dan jauhnya perjalanan yg mesti ditempuh 4 jam berjalan kaki dari Kokoda kw Siwatori, tidak ada angkutan dengan kecuali berjalan kaki.
Perjalanan sungguh sangat berat, khususnya saat pulang, matahari panas terik hutan tropis menyorot tepat ke belakang kepala ini, maka sakit kepala saya mulai kambuh. Ketua Kampung Kokoda yang ikut dengan kami memayungi saya dan saya menolak, biarlah sama-sama dengannya karena ia lebih sepuh. Saya hanya bisa menutupkan rida (kain sorban) di kepala dan leher belakang demi matahari tidak terus menyoroti belakang kepala saya yang memang terkena peradangan di otak belakang beberapa waktu berselang. Saya menahan sakit terus sepanjang jalan karena obat-obatan ditinggal di Kokoda.
Kami tiba di Kokoda pk 10.30 WIT, langsung menuju Teminabuan dengan Perahu Speed Boat selama 5 jam. Saya sempat rebah tak berdaya di Speed Boat, dan setiba di Teminabuan pk 16.30 kami shalat Dhuhur dengan Asar Jamak, dan makan di sebuah restoran dan meneruskan pulang ke Sorong bersama Asri.
Empat ratus (400) km dari Kokoda ke Sorong kami tempuh, 200 km dengan Speed Boat, 200 km dengan mobil, cukup membuat tubuh terasa hancur terkena hempasan ombak sungai, laut, dan jalanan hingga tiba di Sorong.
Laporan ini saya tulis di penginapan di Sorong Dini hari Jumat, 28 Januari 2010. Esok Jumat siang pesawat Insya Allah membawa kami ke Makasar, untuk menghadiri majelis-majelis besar di Makasar bersama Hb Mahmud Al Hamid di Makasar.
Jumat siang, 28 Januari 2010, kami sudah di Bandara Sorong. Pelukan haru dan tangis keras KH Ahmad Baihaqi yang berat sekali berpisah dengan kami. Ia akan meneruskan tugas ini sendiri, belum lagi ongkos membawa 30 santri ke Jakarta, dari Kokoda, Teminabuan, Nebes, Bintuni, dll. Saya akan coba membantunya dari Jakarta jika ada kelebihan dana akan saya kirimkan. Belum lagi menghadapi orang tua murid yang barangkali tidak mudah begitu saja melepas kepergian anaknya kecuali dengan perjanjian berat.
Kami berangkat menuju Makasar dan tiba di Makasar sore, disambut oleh Hb Mahmud Alhamid, seorang penggerak dakwah di kota Makasar. Usianya diatas saya beberapa tahun saja, namun semangatnya sangat berkobar menerobos wilayah yang hampir pudar dari gelombang dakwah Sang Nabi saw, beliau menyiarkan maulid, gasidah dll. di Masjid-Masjid Makasar yang hampir pudar dari hal-hal yang berbau ahlussunnah waljamaah. Semoga Allah swt mencurahkan keluhuran, kemudahan, dan kesuksesan pada perjuangan beliau di kota Makasar, amiin.
Saya tiba di Bandara Soekarno hatta sore Sabtu, 29 Januari 2010. Hati terus termenung dan risau, wilayah-wilayah seluruh Indonesia bahkan dunia sangat butuh para penyeru untuk masuk dan memberi mereka kejelasan. Mereka haus dan siap menanti kedatangan para Da’i, namun dilain fihak keterbatasan semangat, waktu dan dana yang membuat terhambatnya perluasan dakwah ini. Tangisan air mata dan doa selalu untukmu wahai Kokoda, wahai Teminabuan, Wahai Nebes, Wahai Makasar, Wahai Denpasar, Wahai Jakarta, wahai seluruh wilayah barat dan timur. Semoga Allah swt memberi kekuatan dan kemudahan pada hamba dhoif pendosa ini yang tertatih tatih berusaha dengan segala kedhoifannya membenahi wilayah semampunya, juga semoga kemudahan dan semangat terhujankan kepada seluruh para da’i dimuka bumi untuk bersama-sama bangkit membenahi ummat di wilayahnya dan wilayah-wilayah muslimin, amiin.
Kami baru mendapat kontak dengan KH Ahmad Baihaqi, beliau mengabarkan bahwa 15 menit setelah kami meninggalkan Kokoda, terjadi hujan deras, lalu panas sesaat, lalu hujan deras lagi, demikian hingga tiga kali berturut turut, hingga masyarakat berebutan mengambil air hujan.
Sementara itu di Masjid Attaqwa Teminabuan, masyarakat memenuhi Masjid waktu magrib hari itu karena menyangka saya akan hadir menyampaikan tausiyah di masjid tersebut. Mereka memenuhi masjid dan semua banyak membawa aqua untuk minta air doa. Mereka kecewa karena saya sudah meninggalkan Teminabuan sore itu menuju Sorong. Subhanallah.. Munzir pendosa telah meninggalkan mereka, namun Allah swt akan terus merahmat mereka… Amiin.


Ingin membaca cerita lainnya?
Klik KEMBALI KE DAFTAR ISI

0 komentar:

Posting Komentar