"Apabila Engkau sedikit berdzikir (mengingat Allah SWT di dunia) niscaya sedikit pula kesempatanmu memandang-Nya dan kedekatanmu pada-Nya di akhirat." (Al Habib Umar bin Hafidz)


Sabtu, 08 Oktober 2011

17. Aku Pamit Wahai Guru Nan Lembut dan Damai

- - - Sang Guru tersenyum, terdiam, lalu berbisik lembut, “Apa yang kau risaukan?” Aku berkata, “Musuh semakin banyak, saya risau mereka akan merusak perjuangan kita, saya tidak mau memerangi mereka, saya selalu memaafkan mereka sebelum mereka meminta maaf, namun saya risau pula karena mereka terus ada.”
Sang Guru berkata lirih, “Kita kelompok damai yang tidak memusuhi, semoga Allah menenangkan kita dari gangguan musuh.”
Aku berkata lirih, “Apa yg harus saya lakukan?” Maka guru berbisik lembut, “Kita adalah kelompok damai. Kita adalah kelompok yang selalu berdoa. Kita berusaha dengan naungan doa. Kita bekerja dengan naungan doa. Kita beraktifitas dengan naungan doa. Doa kepada Allah, doa kepada Allah, doa kepada Allah.”
Aku menunduk... mulai kurasa bahwa aku telah banyak menyita waktu guru… aku berbisik di sela-sela tangis, “Saya pamit.” Guru menjawab, ”Ku titipkan engkau pada Allah. - - -




Dari www.majelisrasulullah.org
Ditulis oleh: Habib Munzir al Musawa
Minggu, 14 June 2009
Siang hari, Sabtu 13 Juni 2009, detik-detik pamitanku pada Guru. Aku bersimpuh di hadapan guru, samudera ilmu nan luas, guru yang sangat lembut dan berwibawa, seakan-akan langit dan bumi sirna ketika aku memandang kelembutan dan kedamaian di wajahnya. Berkata Anas bin Malik ra, “Belum pernah kami melihat pemandangan yg lebih menakjubkan dari wajah sang Nabi saw.“(Shahih Bukhari)
Itu adalah di masa Anas bin Malik ra, namun di masaku aku menemukan cahaya keindahan itu, sebagaimana sabda Nabiku saw, "Maukah kalian kuberitahu siapakah yang mulia diantara kalian? Mereka adalah yang jika dipandang wajahnya membuatmu ingat pada Allah." (HR Bukhari pada Adabul Mufrad).
Kota Tarim, Hadramaut, Yaman adalah kota kedamaian, cuaca panas terik yg bisa mencapai 45 derajat celcius. Namun terik matahari itu sirna dan sejuk dengan keberadaan para ulama shalihin berwajah sejuk dan damai. Mereka lepas dari segala racun keduniawian, mereka lepas dari segala ketamakan, mereka lepas dari sifat iri dengki, sombong dan segala penyakit hati yg hina, mereka selalu membawa kedamaian dimanapun mereka berada, air mata yang selalu mengalir dalam doa dan munajat, telapak tangan yang selalu terangkat kehadirat Yang Maha Suci dan Maha Abadi, membuat tangan-tangan mereka berhak diperebutkan dan diciumi untuk mendapatkan keberkahan ilahiah dari munajat dan doa mereka, selalu berlemah lembut bahkan pada para pendosa dan hamba yang berlumur kesalahan.
Aku bersimpuh di hadapan guru. Wajahku menunduk dan sangat dekat diahadapannya, air mataku terus mengalir tak kunjung henti jika memandang wajah Guru.
Air mata cinta… Air mata haru pada kelembutannya…
Air mata semangat bakti padanya dengan jiwa dan raga...
Air mata rindu dan selalu ingin bersamanya…
Air mata penyesalan atas perbuatan yang mengecewakannya.
Kuangkat kepalaku lagi menikmati wajah terindah dalam hidupku... Wajah yang membuatku ingat pada Allah...
Wajah yang selalu memancarkan cahaya khusyu dan damai…
Wajah yang selalu berusaha menyantuni semua hamba ilahi….
Sang Guru tersenyum lembut, membuatku menunduk dan semakin deras air mataku mengalir haru dan asyik dalam cinta dan bakti padanya.
Seraya berkata lembut, “Bagaimana keadaan jamaah di Indonesia?”
Aku terdiam dan tak mampu menjawab.
Seraya berkata lembut, “Semoga mereka dalam kebaikan dan kedamaian. Semoga semakin banyak yg bertobat dan kembali kepada keluhuran.
Aku menjawab, “Amiin.”
Hanya itu yang bisa keluar dari bibirku.
Sang Guru berkata lagi, “Kabarkan padaku!”
Aku menangis tersedu-sedu dan berkata, “Mereka semakin banyak… mereka semakin banyak tuanku… saya risau tuanku….”
Sang Guru tersenyum, terdiam, lalu berbisik lembut, “Apa yang kau risaukan?”
Aku berkata, “Musuh semakin banyak... Saya risau mereka akan merusak perjuangan kita… Saya tidak mau memerangi mereka… saya selalu memaafkan mereka sebelum mereka meminta maaf… namun saya risau pula karena mereka terus ada….”
Sang Guru berkata lirih, “Kita kelompok damai yang tidak memusuhi, semoga Allah menenangkan kita dari gangguan musuh.”
Aku menunduk, “Amiiin” bisikku.
Air mata berjatuhan semakin deras.
Wajah indah dan damai itu kembali melantunkan wejangan-wejangan lembut dengan suara lirih dan terkadang berbisik lembut. hingga akhirnya Guru berkata lembut dan pelahan, “Adakah yg masih mengganjal dihatimu?”
Aku menunduk... air mata telah berjatuhan membasahi permadani… aku diam dan tak berani berucap… dan beliau menatapku dengan cermat dan risau…. Dahi Guru berkerenyit tanda beliau benar-benar menanti jawabanku. Maka aku berkata lirih, “Mereka dengki pada saya. Saya sedih mengapa mereka dengki pada saya dan kemajuan yang semakin pesat justru semakin memicu hal ini. Maka saya tidak tahu harus bagaimana.”
Beliau tersandar dan tersenyum. Beberapa detik tanpa suara, lalu beliau melantunkan ayat-ayat kejadian Nabi Yusuf as yang didengki oleh saudara-saudara kandungnya. Lalu beliau berkata lirih, “Bahkan anak-anak para nabi pun ada yg tidak selamat dari sifat dengki pada saudaranya.”
Lalu beliau tersenyum… senyum yang menghibur jiwa yang risau dan resah…. Aku tercenung…. Lalu beliau menyadarkanku dari lamunanku dengan menghentakkan sebuah siwak ke pangkuanku. Siwak dipukulkan ke pangkuanku, tanda kedamaian dan keakraban yang sangat menyejukkan.
Aku berkata lirih, “Apa yg harus saya lakukan?”
Maka guru berbisik lembut, “Kita adalah kelompok damai. Kita adalah kelompok yang selalu berdoa. Kita berusaha dengan naungan doa. Kita bekerja dengan naungan doa. Kita beraktifitas dengan naungan doa. Doa kepada Allah, doa kepada Allah, doa kepada Allah.”
Aku menunduk... mulai kurasa bahwa aku telah banyak menyita waktu guru… aku berbisik di sela sela tangis, “Saya pamit.”
Guru menjawab, ”Kutitipkan engkau pada Allah.”
Aku roboh dalam tangis dan kubenamkan wajahku di pangkuan guru. Aku akan kembali berjuang dalam dakwah. Aku akan berhadapan dengan segala apa-apa yang semoga Allah meringankan segala bebanku.
Beliau menepuk bahuku dengan akrab untuk menyemangatiku. Aku pun bangkit, berdiri mundur tanpa berani membelakangi. Sambil terus menunduk tanpa berani memandang wajah damai itu lagi. Sampai ke pintu barulah kubalikkan tubuhku.
Disaksikan terik matahari dhuhur kutinggalkan kota Tarim, kota kerinduan, kota kedamaian, kota tempat kekasihku dan Guru Muliaku berada, sang pembimbing diriku menju jalan keluhuran, keluhuran dunia dan keluhuran akhirat.
Pesawatku mendarat di Bandara Soekarno Hatta pada Ahad.
Oh Jakarta… Gemetar dan penuh risau ku langkahkan kaki turun dari pesawat menginjak Bumi Jakarta… beban... tanggung jawab… massa… kendala… subhanallah….
Lalu aku membatin, “Wahai nafas-nafasku. Kau adalah ajang bakti cintaku pada guru. Padanyalah ku baktikan jiwa ragaku, yang dengan itulah matahari keridhoan Allah dan Rasul Nya terbit sepanjang waktu bagiku.


Ingin membaca cerita lainnya?
Klik KEMBALI KE DAFTAR ISI

0 komentar:

Posting Komentar