"Apabila Engkau sedikit berdzikir (mengingat Allah SWT di dunia) niscaya sedikit pula kesempatanmu memandang-Nya dan kedekatanmu pada-Nya di akhirat." (Al Habib Umar bin Hafidz)


Sabtu, 08 Oktober 2011

24. Sekilas Kabar dari Kota Cahaya

- - - Terlantun kalimat di dalam hati ini… Wahai Nabi Indah… Wahai Nabi yang sangat ramah… Wahai Nabi yg selalu tersenyum… Wahai Nabi yang selalu berbesar hati dan bersabar menyambut para pendosa dengan doa dan harapan… puluhan ribu pemuda-pemudi setiap malamnya berkumpul di majelismu, Majelis Rasulullah saw… Jakarta kini adalah ajang kumpulan para pecintamu… Puluhan ribu ummatmu setiap malam bershalawat dan salam padamu dan merindukanmu… Ribuan mereka bertobat pada Allah dan berlinang air mata… Setiap malamnya… Haru akan kasih sayang Allah dan Rahmat Nya swt, berdoa dan berdzikir, dan penuh semangat untuk membenahi diri mereka dan keluarga mereka dari kehinaan menuju keluhuran, dan dari keluhuran menuju keluhuran yang lebih tinggi pula… Jamaah rindu padamu wahai Nabi Indah…. - - -




Dari www.majelisrasulullah.org
Ditulis oleh: Habib Munzir al Musawa
Selasa, 7 Juli 2009 pkl 15.00 WIB saya meninggalkan Bandara Soekarno Hatta Jakarta menuju Madinah Al Munawarah. Penerbangan Yemenia Air yang membawa saya dan Muhammad Qalby sempat transit sekitar 2 jam di Dubai, lalu transit sekitar 2 jam di San'a, lalu tiba di Jeddah pk 04.00 dinihari waktu Jeddah (- 4 jam dari WIB).
Ketika pesawat sudah berada di atas kota Jeddah, mulailah terlintas di hatiku fitnah akidah di negeri ini, adakah saya dengan asesoris pakaian seperti ini akan membuat saya dipersulit? Wahai Tuhan Pemilik Kota Jeddah dan Madinah, beri aku keamanan dan perlindungan di kota-kota ini yang Engkaulah pemilik Tunggalnya. Air mata mulai tak tertahan. Pesawat mendarat di Bandara King Abdul Aziz Jeddah dengan selamat.
Firasat saya terjadi, terjadi beberapa halangan yang cenderung disengaja dalam mempersulit saya di Bandara tersebut, namun banyak pula orang-orang baik yang menjabat atasan dan petinggi di Bandara itu, justru mereka yang menyambut hangat dan beberapa kali menolong saya ketika dipersulit oleh beberapa oknum.
Kami menuju Madinah Kota Cahaya, (Madinah Almunawwarah berarti kota yang bercahaya) perjalanan dengan mobil sewaan menuju kota tercinta Madinah Al Munawarah, kota yg paling dicintai oleh Rasul saw dan seluruh ummat beliau saw yg mengerti tentang kemuliaannya, sebagaimana doa Nabi saw, “Wahai Allah, jadikanlah kami mencintai kota Madinah sebagaimana kecintaan kami pada kota Makkah atau lebih lagi. (Shahih Bukhari).
Untuk itulah Sayyidina Umar bin khattab ra berdoa, “Wahai Allah, beri aku kematian dalam syahid, namun kematian syahidku adalah di Kota Rasul Mu ini. (Shahih Bukhari).
Jalan highway Jeddah-Madinah sekitar 400 km. Perjalanan yang lengang itu diapit oleh padang pasir tandus dan gunung-gunung batu yang berwarna kehitaman, seakan akan batu-batu itu terbakar oleh panasnya matahari. Kendaraan yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan standar, antara 120-140km/jam, dan untuk jalanan lengang sepi seluas itu maka kecepatan itu sangat aman dan tidak membahayakan.
Sepanjang perjalanan antara kantuk, shalawat, doa, dan air mata. Sesekali bercakap-cakap dengan sopir taksi yang kebetulan namanya Muhammad pula. Ia pun bercerita bahwa puluhan tahu yang lalu negeri ini tidak tandus seperti ini, hujan masih acapkali turun, seraya menunjukkan beberapa wilayah yang dulunya perkebunan anggur dan kurma, namun saat ini sudah menjadi padang tandus karena air sama sekali tidak ada. Bahkan sumur kedalaman 100 meter pun belum ditemukan setetes air, maka tumbuhan itu mati begitu saja, seraya mengatakan dengan semangat sambil menunjuk ke sebuah lembah, “Kalau 20 tahun yang lalu kau lewat di wilayah ini tuanku, maka kau tak bisa melihat matahari di atas karena lebatnya hutan anggur. Namun kau lihatlah saat ini bagaimana tidak satupun ada pohon anggur di wilayah ini.”
Sesekali kantuk menutup mata ini, namun sesekali tersentak pula mengingat perjalanan Nabi saw dengan unta saat Hijrah dari Makkah ke Madinah. Subhanallah.
Sekitar pkl 8.30 pagi kami sudah melewati Gunung Uhud, yang disabdakan Nabi saw, “Uhud adalah gunung yang mencintaiku dan aku mencintai Gunung Uhud. (Shahih Bukhari). Air mata tak tertahan, belasan abad yang silam wilayah ini diterangi cahaya terindah ciptaan Allah swt dan cahaya itu terus menerangi benak muslimin hingga akhir zaman.
Kami masuk kota cahaya, sopir taxi yg baik hati itu ternyata orang yang memuliakan Nabi saw pula, ia menggosokkan minyak wangi ke tangan kami. Saya pun memujinya dalam hati, orang ini memasuki kota Madinah ia berwangi wangi.. Subhanallah.
Kubah Hijau sebagai tanda Makam Sang Nabi saw bagai Zamrud Agung ditengah hamparan keluasan Masjid Nabawiy yang megah terlihat dari kejauhan, lambang kerinduan segenap ummat ini pd sang Nabi saw di Barat dan Timur. Kami masuk hotel yg langsung berhadapan dengan Al Haram (Masjid Nabawiy). Ketika kami masuk ke ruang istirahat di penginapan itu di lantai 11, kami membuka tabir jendela dan kami terperanjat, Kubah Hijau Agung itu tepat di hadapan kami..langsung terlihat jelas dari jendela tersebut, Allahumma Shalli alaa Sayyidina Muhammad..!
Malam hari pkl 23.30 waktu setempat, kami masuk Masjid Nabawiy. Di waktu itu Masjid Mulia itu agak lengang. Kami masuk dan menuju ke hadirat pintu megah makam termulia ini. Air mata tak tertahan mengingat tidak ada yg memisahkanku dengan jasad mulia dan suci itu kecuali dinding ini.
Dibalik dinding ini adalah terbaringnya tubuh yg selalu wangi dan harum yang lebih wangi dari semua jenis minyak wangi, sebagaimana riwayat shahih, ketika Sayyidina Abu Bakar Shiddiq ra mengunjungi jenazah beliau saw ketika wafat, seraya memeluk Jenazah Sang Nabi saw sambil menangis dan berkata lirih, “Demi ayahku, demi Engkau, dan demi ibuku, sungguh Engkau tetap wangi semerbak dalam hidup dan setelah wafatmu wahai Rasulullah. (Shahih Bukhari).
Kutatap dinding pemisah itu, pandangan seakan menerawang kebalik tabir, yang padanya tubuh tersuci dan bercahaya, selalu tersenyum indah menyambut para peziarah, bagaimana tidak? Allah swt telah berfirman, “Jangan sesekali kalian katakana orang yang wafat di jalan Allah itu wafat, sungguh mereka itu hidup namun kalian tidak merasakannya. (QS Al Baqarah 154).
Salam sejahtera untuk mu wahai Nabi, salam sejahtera untukmu wahai Khalifah Abubakar shiddiq ra, Salam sejahtera untukmu wahai Khalifah Umar bin Khattab ra. Air mata para peziarah tak terhindarkan dan mereka pun lama tegak berdiri menikmati kedekatan dengan Makhluk Allah swt yang paling indah budi pekertinya, paling ramah, dan manusia yang mencintai setiap muslim ummatnya dengan kecintaan yang melebihi segenap kecintaan orang lain pada diri mereka.
Di tengah-tengah keasyikan itu aku tersentak dengan suara para pengawal makam yg menghardik para peziarah untuk tidak berdoa menghadap ke makam Rasul saw, tapi harus menghadap kiblat yang itu berarti membelakangi beliau saw. Mereka ini membuat peraturan syariah sendiri, padahal sebenarnya berdoa boleh menghadap kemana saja, boleh menghadap kiblat boleh membelakanginya atau kearah mana saja, dan yang mesti menghadap kiblat adalah saat shalat.
Namun gangguan yang membuatku hampir meledak marah itu tiba-tiba saja menjadi tenang dan damai dan penuh malu pada Sang Nabi saw, setelah teringat bagaimana perlakuan beberapa oknum sejak ketibaanku di Jeddah, sampai ditempat suci ini, namun ketika itu muncul ketenangan dan malu.
Bagaimana perasaan Sang Nabi Indah, ketika melihat para tamu pecintanya yang sekedar ingin melepas rindu sambil menatap dinding makam beliau saw diusir dan dihardik setelah mereka datang jauh jauh dari barat dan timur?
Sang Nabi Indah bersabar dan tentunya selalu mendoakan para pendosa yang sesat dalam akidahnya agar diberi hidayah. Justru diriku ini yang tak tahu diri, bertamu kepada beliau saw dan kurang bersabar atas ujian dalam kunjungan mulia ini.
Maka aku meninggalkan tempat itu untuk menuju Raudhah beliau saw, yang disabdakan oleh beliau saw, “Diantara Mimbarku dan rumahku adalah taman sorga.” (Shahih Bukhari). Maka sebidang tempat antara makam beliau saw (dahulu kediaman beliau saw) dan mimbar lama, ia diberi pagar dan tanda khusus, menandakan wilayah itu adalah wilayah yg disebut Raudhah, yaitu yang termaksud dalam hadits diatas. Muslimin berebutan berdoa dan melakukan shalat di Raudhah mulia itu.
Namun Raudhah pun mulai penuh dan orang orang mulai berdatangan dan berdesakan, maka saya berpindah lagi kebelakang makam beliau saw, dan disana belum terlalu ramai, maka saya duduk bersimpuh di dinding bagian belakang makam beliau saw. Wajah saya dekat sekali dengan dinding bersepuhkan emas itu. Dan doa dan munajat, pelampiasan rindu, dan penyampaian salam rindu dari semua jamaah Majelis Rasulullah SAW terus saya lantunkan, sebagaimana bersalam di makam adalah hal yang sunnah dan diajarkan oleh Rasul saw sebagaimana banyak riwayat shahih diantaranya pada Shahih Bukhari dan lainnya.
Waktu tak terasa, adzan awal dikumandangkan, kemudian muslimin semakin padat berdatangan, dan sekitar satu jam kemudian diteruskan adzan kedua yang merupakan adzan subuh. Mengenai adzan pertama ini merupakan hal yang sunnah, sebagaimana diriwayatkan pada Shahih Bukhari dan lainnya, bahwa Rasul saw memerintahkan Bilal ra adzan untuk menandakan masuknya waktu sepertiga malam terakhir. Kemudian ketika masuk waktu subuh Ibn Ummi Maktum ra diperintahkan adzan menandakan waktu subuh.
Saya keluar dari Masjidi Nabawiy sekitar pkl 6.30 pagi. Tidak terasa sekitar 7 jam bersama kerinduan di hadirat Sang Nabi saw.
Waktu terus berlanjut ziarah demi ziarah ke Al Haram hingga Jumat, 10 Juli 2009, dini hari kami berziarah sekaligus pamit untuk pagi itu meninggalkan Madinah Kota Cahaya.
Wajah tertunduk sedih ketika berpisah dengan Sang Kekasih Allah dan Kekasih Mutlak bagi semua mukmin di dunia dan akhirat, disertai harapan dan semangat juang untuk terus berkhidmat pada beliau saw dalam pembenahan ummat.
Terlantun kalimat di dalam hati ini… Wahai Nabi Indah… Wahai Nabi yang sangat ramah… Wahai Nabi yg selalu tersenyum… Wahai Nabi yang selalu berbesar hati dan bersabar menyambut para pendosa dengan doa dan harapan… puluhan ribu pemuda-pemudi setiap malamnya berkumpul di majelismu, Majelis Rasulullah saw… Jakarta kini adalah ajang kumpulan para pecintamu… Puluhan ribu ummatmu setiap malam bershalawat dan salam padamu dan merindukanmu… Ribuan mereka bertobat pada Allah dan berlinang air mata… Setiap malamnya… Haru akan kasih sayang Allah dan Rahmat Nya swt, berdoa dan berdzikir, dan penuh semangat untuk membenahi diri mereka dan keluarga mereka dari kehinaan menuju keluhuran, dan dari keluhuran menuju keluhuran yang lebih tinggi pula… Jamaah rindu padamu wahai Nabi Indah…
Juga kerinduan dari seluruh pecintamu di barat dan timur… Salam perpisahan wahai para syuhada Badr, wahai Putri Rasul saw Sayyidah Fathimah Azzara ra, Ummulmukminin Sayyidah Khadijah ra dan Sayyidah Aisyah ra dan para Ummulmukminin beserta para ahlul Baqi Muhajirin dan Anshar….
Kami meninggalkan Kota Cahaya, dan hati tetap disana…
Perjalanan menuju Jeddah diteruskan dengan Shalat Jumat dan penerbangan pulang dari Jeddah ke Jakarta melewati rute San'a, Dubai, Kualalumpur, lalu Jakarta.
Penerbangan Jumat sore pk 16.00 pada 10 Juli 09 dari Jeddah menuju San'a, dan Transit di San'a selama 29 Jam, yaitu mulai ketibaan di San'a Jumat pk 17.35 waktu setempat, hingga Sabtu pk 23.00 keesokan harinya.
Saya gundah, transit di San'a selama 29 Jam. Walau disediakan hotel gratis oleh fihak Yemenia Air namun sungguh sangat lama. Maka Sabtu pagi 11 Juli 09 saya menghubungi bagian penerimaan tamu di kediaman Guru Mulia Al Musnid Alhabib Umar bin Hafidh, agar disampaikan salam saya pada beliau, apakah saya diizinkan kunjung silaturahmi? Ketika telah disetujui oleh beliau maka setelah kami cukup beristirahat karena ketibaan Jumat petang itu kami sangat lelah setelah sekitar 12 jam meniti perjalanan dari Madinah ke Jeddah dan hingga sampai ke San'a maka malam itu kami istirahat.
Maka pagi keesokan harinya kami menuju Seiyun dengan penerbangan sekitar 1 jam dari San'a, menuju Guru Mulia yang selalu berlemah lembut penuh kasih sayang.
Pagi sabtu 11 Juli 09 kami masuk Kota Suci Tarim, kami berziarah ke Makam Al Imam Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali Ba'alawi rahimahullah, di pekuburan mulia yg padanya terdapat ribuan para wali dan shalihin. Maka sekitar pk 10.30 waktu setempat kami tiba dikediaman beliau, jumpa dengan wajah terlembut yang pernah kulihat selama hidupku… Senyum terindah dan hangat itu menyambut kedatangan kami… Seraya berkata lembut, “Selamat datang wahai Munzir yang tiba dari hadirat kota cahaya, perjalanan indah semoga memperindah hari harimu kemudian.”
Beberapa menit percakapan diiringi derasnya airmata dan kemudian beliau pamit atas kesibukan beliau, dan mempersilahkan kami beristirahat hingga waktu selepas dhuhur.
Selepas dhuhur kami kembali menghadap, berjumpa lagi dalam air mata haru dan rindu, wasiat-wasiat lembut beliau diantaranya:
Tinggalkan kancah panasnya pemilu di wilayah kalian, jadilah penyejuk dari jiwa yang berpecah belah dan gundah, biarkan muslimin berfihak pada pilihannya masing-masing, jangan mencaci siapapun dari calon pemimpin kalian dan jangan pula terlalu memuji-muji salah satunya, tetaplah bijaksana dalam posisi yang menghargai semua kelompok.
Jangan ternodai dengan permusuhan antara masing-masing pendukung. Ketahuilah dakwah Sang Nabi saw sudah ada sebelum kancah persaingan ini ada dan dakwah Sang Nabi saw akan terus ada hingga seluruh kepemimpinan ini sirna, maka jangan larut dalam permusuhan dan jangan pula terpengaruh dalam keruhnya persaingan, rukunlah walau berbeda pendapat.
Tenanglah dengan keputusan Allah swt, teguhlah dalam niat agung dalam pembenahan ummat. Selalulah dalam tuntunan kedamaian bagi masyarakatmu.
Salam rinduku untuk semua jamaah dan muslimin di Indonesia. Semoga Allah swt segera mengizinkan terbenahinya ummat di seluruh wilayah Indonesia dan seluruh wilayah muslimin.
Kami pamit, karena malam itu pesawat kami dari San'a akan menuju Jakarta. Kami berziarah ke Makam Imam Ahmad Al Muhajir Ahmad bin Isa rahimahullah, lalu pkl 17.00 waktu setempat pesawat kami menerbangkan kami ke Bandara San'a melalui Aden. Kami tiba di San'a pkl 19.00 dan menuju ruang transit dan menanti keberangkatan selanjutnya menuju Jakarta.
Sabtu 11 Juli 09 Pkl 23.00 waktu setempat kami meninggalkan San'a, menuju Jakarta dengan kesinggahan di Dubai, Kualalumpur, dan mendarat di Jakarta.
Saya menyelesaikan risalah ini dalam perjalanan dari Bandara Kualalumpur menuju Bandara Soekarno Hatta, diatas ketinggian 10.898 meter dari permukaan laut, dengan jarak 920 km dari Jakarta, tepat diatas daratan pulau sumatera.
Rabbi Wahai Tuhan Pemilik Bumi Madinah, sebagaimana telah kau jadikan Madinah sebagai kota yang bercahaya, maka jadikan pula Bumi Jakarta sebagai belahan dari Madinah Almunawarah, yaitu belahan dari kota Nabi Mu yg bercahaya. Jadikan Bumi Jakarta sebagai kota para pecinta Nabi Mu Muhammad saw.
Hidupkan jiwa penduduknya dengan kesejukan, kedamaian, ketenangan, kerukunan, dalam cahaya tuntunan Nabi Mu Muhammad saw. Limpahkan kemakmuran bagi penduduk Bumi Jakarta dan penduduk negeri muslimin terbesar di muka bumi ini Yaa Rahmaan, dan limpahkan hidayah dan kemakmuran bagi seluruh muslimin di barat dan timur.
Hindarkan kami dari segala kesulitan dan musibah, gantikan dengan kemudahan dan Rahmah. Wahai Yang Maha Luhur, sebentar lagi hamba Mu akan mendarat di Jakarta, jadikan hari-hari hamba Mu ini penuh dengan cahaya pertolongan dan keridhoan Mu. Bimbing hamba Mu yang lemah ini agar dapat selalu tegak berjuang dalam membenahi ummat Nabi Mu, munculkan jiwa muda-mudi yang bercahaya dengan semangat membela sang Nabi saw.


Ingin membaca cerita lainnya?
Klik KEMBALI KE DAFTAR ISI

0 komentar:

Posting Komentar