Kisah seorang muhibbin yang menemukan jati dirinya di aktivitas makelis taklim. Dulunya ia pernah terseret dalam pergaulan sesat.
Dari kisah nyata teman Facebook saya, Budi Pecinta Majelis
Lingkungan dan pergaulan sangat mempengaruhi kepribadian seseorang, apalagi bagi remaja yang jiwanya belum stabil. Masa remaja diidentikkan dengan masa pancaroba. Ke mana tarikan yang kuat, ke sanalah mereka berpaling. Begitu pula yang terjadi pada diriku.
Namaku Budi Santoso, aku tinggal di daerah Ulujami, Jakarta Selatan. Lingkunganku dihunu berbagai macam warga dengan berbagai jenis watak mereka.
Aku termasuk remaja yang pergaulannya tidak terkontrol, sering begadang, sering melakukan perbuatan yang tidak pantas, hura-hura, dan hidup seenaknya tanpa aturan. Pokoknya aku melakukan apa saja yang menurut hawa nafsuku enak.
Sampai akhirnya lima tahun yang lalu, tiba-tiba seorang teman yang sudah lama tidak bergaul denganku datang ke rumah. Buju buneng, entah mimpi apa dia mengajak aku menghadiri acara maulid nabi. Aku tertawa ngakak, apa tidak salah dengar? Tapi teman itu meyakinkanku bahwa akan ada sesuatu yang luar biasa yang akan aku dapatkan. Aku kembali tertawa tidak percaya.
Namun teman itu tetap membujukku. Dalam hati kecilku ada bisikkan, tidak ada salahnya dicoba, toh tidak ada ruginya. Aku pun setuju ikut.
Temanku itu berpakaian khas, berbaju koko, kopiah haji, dan sarung. Melihat pakaian yang aku kenakan, ia mengeluarkan baju dan sarung dari dalam tasnya. Aku pun dipinjami baju itu.
Seumur-umur baru pertama aku berpakaian seperti itu, aku menjadi risih. Tapi karena tidak enak dengan teman itu, aku tetap mengenakannya. Kami pun akhirnya berangkat ke tempat acara.
Di tempat acara sudah banyak yang datang, semuanya memakai baju yang sama yang tampaknya menjadi cirri khas mereka. Kami berusaha mencapai shaf terdepan dan Alhamdulillah aku dapat tempat duduk yang paling depan, berhadapan dengan meja penceramah.
Tidak beberapa lama orang-orang ramai bersalaman dengan seseorang yang baru datang. Orang itu tampak gagah sekali, wajahnya teduh dan senyumnya begitu akrab. Mereka yang hadir berebut menyalaminya dan mencium tangannya. Aku pun ikut menyalaminya.
Acara yang baru pertama kali aku hadiri itu membuat jiwaku bergetar, setiap bacaan Maulid yang dilantunkan terasa menyiram jiwaku yang selama ini terasa gersang.
Rupanya yang menjadi pusat perhatian tadi adalah Habib Munzir bin Fuad Almusawa. Habib Munzir, begitu para jamaah memanggilnya, adalah pemimpin Majelis Rasulullah SAW.
Ketika sampai acara taushiyahnya, aku menjadi gemetar dengan suara mantap Habib Munzir. “Semua kalian adalah pendosa,” ujar Habib Munzir lantang. Lalu dia melanjutkan, “Wahai jiwa yang tenang, yang dicintai Allah, kembalilah kepada Allah dengan keadaan tenang. Tidak ada dosa yang tidak terhapuskan dan bertaqwalah kepada Allah agar hidup kalian selamat dunia dan akhirat.”
Ucapan Habib Munzir yang terakhir itu membuatku lega dan seolah-olah ditujukan khusus padaku. Air mataku berlinang, segumpal sesal terasa sesak di dada. “Aku sudah lama tanpa arah dan tujuan, inilah waktunya untuk kembali ke fitrah sejatiku sebagai makhluk Tuhan. Aku berjanji akan menjadi manusia yang taat.” Begitu ucapku lirih.
Takut Diejek
Ternyata janji tidak semudah kenyataan. Aku masih belum kuat menghadapi godaan dan ejekan teman-teman yang sudah lama bergaul denganku. Tapi aku juga tidak mau kehilangan kenikmatan yang menyentuh jiwaku setiap aku mengikuti ta’lim di Majelis Rasulullah SAW. Sehingga kalau akan pergi ke majelis ta’lim aku tidak pernah memakai baju koko tapi dengan baju main. Aku membawa perlengkapan dalam tas dan sebelum sampai di tempat ta’lim aku mengganti baju. Begitu juga ketika pulang, aku melakukan hal yang sama, itu berjalan cukup lama.
Suatu kali aku merasa dapat durian runtuh. Setelah selesai ta’lim Habib Munzir menyalamiku dan menepuk bahuku, lalu berkata, “Yang sabar dan tawakal, jangan takut dengan manusia.”
Aku terharu sekali, aku belum pernah mendapat perhatian seperti itu dari seorang habib yang disegani, dan aku juga baru akan minta nasihat, tapi Habib Munzir seolah sudah mengerti apa yang ada dalam pikiranku. Rasanya aku seperti dituntun dengan penuh kasih saying oleh Allah Yang Maha Penyayang. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, aku akan bersungguh-sungguh menuntut ilmu di majelis ta’lim dan ingin menjadi hamba yang dicintai-Nya.
Teman-temanku yang lama mulai menyadari bahwa aku telah berubah dan mereka tidak lagi usil mengejek dan mengajakku ke acara-acara yang tidak bermanfaat. Aku pun semakin rajin mengikuti ta’lim, bukan hanya di Majelis Rasulullah SAW, tapi dimana da ta’lim aku usahakan hadir. Aku ingin bergaul dengan ulama dan kalo bisa ingin menjadi alim seperti mereka. Salah satu nasihat Habib Munzir yang masih ku ingat adalah kelak di akhirat manusia akan dikumpulkan dengan orang-orang yang mereka cintai.
Kalau mencintai ulama, habaib, dan Rasulullah SAW tentu meraka akan berkumpul dengan Rasulullah SAW. siapakah yang paling diharapkan syafa’atnya di hari akhir nanti kalau bukan Rasulullah SAW? Rasulullah SAW akan membela umatnya di hari pengadilan kelak dan kecintaan beliau kepada umatnya sungguh tidak berujung. Sampai-sampai ketika akan menghembuskan nafas terakhirpun beliau memikirkan umatnya.
Aku kelak ingin bersama mereka, ara orang shalih dan para kekasih Allah, maka akhlaq dan perbuatanku harus selaras dengan apa yang dituntunkan agama. Kalau dulu kamar-kamarku dipenuhi poster dan penyanyi kafir, sekarang sudah berganti dengan ayat-ayat suci dan foto habaib. Aku ingin bukan hanya tampilan luar yang berbeda dari waktu duluku, melainkan juga seluruh jiwa dan pikiranku.
Aku berdo’a kepada Allah dengan aktivitas dan pergaulanku dengan ulama dan habaib, semoga Allah menuntun langkah-langkahku untuk selalu istiqomah di jalan-Nya dan apa yang ku lakukan mendapat ridho dari-Nya. Amin.
Ingin membaca cerita lainnya?
Klik KEMBALI KE DAFTAR ISI
"Apabila Engkau sedikit berdzikir (mengingat Allah SWT di dunia) niscaya sedikit pula kesempatanmu memandang-Nya dan kedekatanmu pada-Nya di akhirat." (Al Habib Umar bin Hafidz)
Sabtu, 08 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar